Pembukaan


Terima Kasih Kepada Seluruh Muslimin Dan Muslimat Yang Telah Berkunjung Ke Blog Kami, Semoga Apa Yang Anda Baca Didalam Blog Ini Dapat Bermanfaat. Sekali Lagi Syukron Katsir, Salam Ukhuwah Islamiyah.

BERSATULAH ISLAM TEGAKKANLAH AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR.

Sabtu, 08 Juli 2023

 Di Atas Ozon, Wali Paidi Diberitahu Bagaimana Kiamat Dunia Dimulai


DutaIslam.Com –

 

Wali Paidi terdiam di atas distro MORKL. Mas Sakti tersenyum memperhatikan Wali Paidi yang ada di depannya itu. Hening yang sangat lama menghinggapi mereka.

"Tidur saja dulu kang di sini," ucap Mas Sakti.

"Nanti saja. Belum ngantuk mas".

Namun, tak lama kemudian Wali Paidi merasakan kantuk berat tak dapat dicegah. Ia pun tertidur. Anehnya, tidurnya seakan masih terjaga. Walaupun mimpi, Wali Paidi merasakan dirinya seakan masih berposisi duduk di depan Mas Sakti, sama persis seperti jagongan sebelum tertidur pulas.

Suara itu tiba-tiba muncul: 
bler....bler....bler.......

Di depan toko, Wali Paidi berdiri dan berjalan ke jendela toko. Wali Paidi melihat kakak Mas Sakti datang naik Harley, lengkap dengan jaket dan celana hitam khas pengendara motor 
gedhe. Kakak Mas Sakti ini turun dari mogenya.

Wali Paidi tersenyum melihat kakak Mas Sakti tersebut mencopot helmnya. Rambutnya keren. Samping kanan dan kiri dicukur habis hanya tinggal tengah kepala sampai ke belakang yang dibiarkan memanjang.

Mas Sakti turun menyambut kakaknya. Dan, mereka berdua naik ke atas toko. Wali Paidi mencium tangan kakak Mas Sakti.

"Ini toh Wali Paidi, hmm....," ucap kakak Mas Sakti.

"Inggih mas 
nggih niki larene (orangnya)".

Setelah ngopi dan merokok sebentar, terdengar suara lagi: "
bler....bler.....". Rupanya ada Harley lagi yang datang saat itu.

"Itu Bang Yik Terongan sudah datang. Ayo berangkat, ayo kamu ikut juga," kakak Mas Sakti mengajak Wali Paidi.

Wali Paidi berboncengan dengan Yik Terongan, sementara Mas Sakti berboncengan dengan kakaknya. Seumur-umur, Wali Paidi baru kali ini merasakan naik Harley dengan kecepatan yang tinggi.

Wali Paidi merasakan, dalam mimpinya itu, seakan jalan yang dilaluinya menuju ke langit, bukan datar bumi. Mereka berempat baru berhenti ketika di depannya berdiri megah sebuah istana yang sangat indah. Wali Paidi, Yik Terongan, Mas Sakti dan kakaknya segera turun dari motor, dan berjalan ke arah istana.

Wali Paidi melihat bumi dari atas tampak diselimuti cahaya biru, "inikah lapisan ozone?" batinnya. Kakak Mas Sakti mendekatinya.

"Apa yang kamu lihat itu memang banyak yang menyebutnya sebagai lapisan ozone. Sebenarnya lapisan biru yang mengitari bumi itu adalah cahaya iman yang terpancar dari hati setiap orang Islam. Kalau iman umat Islam semakin tipis, maka lapisan biru itu juga akan ikut menipis, dan cahaya matahari akan langsung masuk menerobos bumi. Kalau cahaya iman sudah habis, maka terjadilah kiamat," jelas kakak Mas Sakti sambil menepuk pundak Wali Paidi.

Setelah menjelaskan tentang lapisan ozon, kakak Mas Sakti mengajak Yik Terongan dan adiknya masuk ke dalam istana, "kamu belum waktunya masuk, jaga motor saja di luar," ucap kakak Mas Sakti.

"Hahahaha.....santai saja. Sebentar lagi sampeyan boleh masuk," olok Mas Sakti karena Wali Paidi nampak gugup.

"Siap bos!" Balas Wali Paidi.

[dutaislam.com/ab]





 Wali Paidi Lupa Kecantikan Mulan Jameela Karena Ucapan Mas Sakti Ini



DutaIslam.Com –

 

Usai shalat Magrib, Wali Paidi langsung menuju Jalan Sokarno-Hatta, Malang. Dari jalan itu Wali Paidi belok ke kiri. Setelah berjalan hampir satu kilo, Wali Paidi melihat habib yang dicarinya, habib yang dikiranya tukang becak. Wali Paidi melihat habib tersebut memasuki sebuat toko distro. Wali Paidi mengarahkan sepedanya ke kanan, tertampang tulisan didepan toko "MORKL" outlet.

Wali Paidi celingak celinguk di depan toko, mencari habib yang lari ke sana, "mungkin aku salah lihat, kok ia tak ada ada di sini," batinnya.

Tak lama kemudian keluar pemuda jangkung agak kurus menghampiri Wali Paidi, "kang, katanya mondok, kok keluyuran sampai kesini?" Kata pemuda itu.

"Wah wah, mas sakti toh, kok bisa di sini?" Wali Paidi tentu kaget. Kurus tapi bisa melayang sukses menyusul Wali Paidi.

Ternyata Wali Paidi mengenal pemuda jangkung itu. Dialah mas sakti yang oleh Wali Paidi sudah dianggap sebagai kakak tuanya, walau umurnya masih di bawah Wali Paidi.

Setelah saling mengolok-ngolok khas wahabi, eh khas santri, mas sakti mengajak masuk Wali Paidi ke dalam toko, "ayo ngopi diatas aja kang!" ajaknya.

Mas Sakti menaiki tangga menuju ke atas toko Wali Paidi serta melanjutkan obrolan sambil ngopi, kadang mereka tertawa lepas, dan kadang pula. disela-sela obrolan mereka, berdua bilang: Amin....Amin...!

Wali Paidi menselonjorkan kaki dan merebahkan tubuhnya. Di depannya, duduk mas sakti sambil membaca koran bekas.

"Baca apa mas?"

"Ini baca Ahmad Dhani didemo," jawab Mas Sakti

"Soal apa mas?"

"Ini Ahmad Dhani pas konser menginjak lafadz Allah, kan logo Band Dewa itu ada rangkaian lafadl Allah, sedang lantai panggungnya ada gambar besar logo Dewa yang ada lafads Allah tersebut".

"Menurut sampeyan gimana, mas?"

Mas Sakti terdiam agak lama. Setelah menaruh korannya dan menyeruput kopinya, mas sakti menyalakan rokok Mild-nya, kemudian berkata:

"Menurut syariat, Dhani ini salah, tapi hakekatnya kita semua ini berdiri di atas lafadl Allah".

"Maksud dan contoh jelasnya gimana mas?" Tanya Wali Paidi. Orang ini Wali rendahan, banyak tanya.

Mas Sakti berdiri memanggil temannya yang ada di bawah, "Ping, tolong ambil kaca mata di bawah, terus bawa kesini," pinta Mas Sakti kepada rewang tokonya.

Tidak lama kemudian datang teman Mas Sakti membawa kacamata dan menyerahkan kepada Mas Sakti, "Kamu pakai kacamata ini!" Pinta Mas Sakti sambil menyerahkan kacamatanya kepada Wali Paidi.

Wali Paidi duduk, dan memakai kaca mata yang diberikan Mas sakti.

"Ya Allah....Allahu Akbar....!" jerit Wali Paidi.

Dalam pandangan Wali Paidi seluruh dinding toko dan lantainya terangkai lafads Allah. Wali Paidi kemudian mengarahkahkan pandangannya ke bawah, lantai yang didudukinya, yang juga terangkai banyak lafadl Allah. Banyak banget.

Wali Paidi agak ketakutan melihat ini semua, dan Wali Paidi juga melihat nafas yang keluar dari hidung Mas Sakti membentuk lafadl Allah. Dalam pandangan Wali Paidi, seluruh permukaan bumi ini ada rangkaian lafadl Allahnya.

Dengan berlinang air mata takjub, Wali Paidi menyerahkan kembali kacamata itu kepada Mas Sakti.

Tersenyum, Mas Sakti mengatakan begini: "
Andai hijab hati kita dibuka oleh Allah, maka seluruh benda dan seluruh permukaan bumi terangkai lafadl Allah, betapa tidak punya malunya kita kalau kita berbuat maksiat di atas rangkaian lafadl Allah, mungkar kepadanya. Sedangkan kita berada berada di atas buminya".

Wali Paidi semakin tesedu-sedu, dan tidak bisa dicegah, Wali Paidi menangis keras, lupa kalau Mulan Jameela sekarang adalah istri Ahmad Dhani.

[dutaislam.com/ab]





 Sang Wali Bingung Mendengar Sapu, Sandal dan Lainnya Berdzikir Allah, Tapi Gus Dur Tertawa


DutaIslam.Com –

Wali Paidi tidak tahu apa yang dialaminya saat ini. Dia sering mendengar benda-benda yang berada di sekitarnya berdzikir. Mulai sapu lidi yang biasa dipergunakan, sandal para santri yang ditatanya, semuanya berdzikir.

Sampai suatu pagi, Wali Paidi dipanggil mbah romo kiai, dan seperti biasanya, beliau menemuinya di teras 
ndalem, didampingi kopi plus rokok kretek kesayangannya.

"Nak, apa yang kamu alami itu hal yang wajar saja, kamu jangan risau. Setiap orang yang belajar membersihkan hati dan mengajaknya untuk berdzikir setiap saat, maka akan mengalami seperti apa yang kamu alami sekarang ini. Bahkan mendengar lolongan anjing pun akan terdengar seperti suara orang yang berdzikir. Itu semua pantulan dari hatimu. Kamu pasti ingat dengan hadist yang menceritakan ketika Nabi mendengar kerikil yang dipegangnya itu, terdengar nyaring sedang berdzikir," kata mbah romo yai.

"Inggih, kiai".

"Besok kamu berangkatlah ke Malang, berziarahlah ke makam Habib Abdullah Bilfaqih dan ayahnya, Habib Abdul Qadir Bilfaqih. Tapi sebelum kamu duduk, bacalah salam ini," romo kiai menyerahkan secarik kertas kecil kepada Wali Paidi. Diterima dengan penuh takdzim, tanpa bertanya doa itu bid'ah, sesuai sunnah atau tidak. Pokoknya dia terima. Husnudzan paling utama.

"Bacalah!" perintah romo kiai.

"
Salamullahi, ya saadah…..dan seterusnya," Wali Paidi langsung membacanya melagukan salam tersebut dalam syiir khas pesantren, yang biasa disebut Bahar Thowil dalam Ilmu Aridl (gubahan syiir Arab).

"Salam itu memang sudah umum, dan di setiap makam wali, banyak tergantung ucapan salam itu. Andai nanti ketika kamu sudah sampai di makam habib, dan habib tidak berada di makam, maka ketika habib mendengar ucapan salammu itu, insyaAllah habib akan kembali pulang ke makamnya dan menemui kamu," jelas romo kiai.

"Inggih kiai," sekali lagi Wali Paidi mengiyakan, tunduk, patuh.

"Kamu naik sepeda motor si Sofyan saja!" Sofyan adalah putra romo kiai.

Besoknya, Wali Paidi berangkat ke Malang, ke pemakaman umum Kasin. Romo kiai mengatakan kalau makam habib Abdullah dan Habib Abdul Qadir berada di pemakaman umum Kasin. Hanya itu petunjuk yang diberikan.

Sementara, Wali Paidi tidak tahu di mana daerah Kasin itu. Wali Paidi tidak berani bertanya lebih jelas pada romo kiai karena menjaga tata krama. Wali Paidi manut dan berusaha melaksanakan perintah romo kiai tanpa banyak bertanya dan protes.

Sesampainya di Malang, Wali Paidi langsung menuju alun-alun Kota Malang. Setelah memarkirkan sepeda, Wali Paidi clingak-clinguk mencari tukang parkir. Alhamdulillah, tidak lama kemudian ada tukang parkir yang menghampirinya.

Setelah mendapat penjelasan dari tukang parkir tersebut soal makam habib, Wali Paidi langsung berangkat ke daerah Kasin, sesuai petunjuk yang diterima. Kira-kira sepuluh menitan. Wali Paidi sudah berada di daerah Kasin.

"Sekarang tinggal mencari di mana letak pemakaman umum Kasin," bathin Wali Paidi.

Wali Paidi bertanya kepada orang-orang yang ditemuninya. Menurut keterangan, pemakaman umum Kasin ternyata ada dua. Biar jelas jawaban, ia menerangkan kalau berniat ziarah ke makam Habib Abdullah Bilfaqih dan abahnya, Habib Abdul Qadir Bilfaqih.

Setelah mendapat petunjuk yang jelas mengenai arah ke makam, Wali Paidi melanjutkan perjalanan. Namun Wali Paidi tetap tidak dapat menemukan makam tersebut. Ada saja orang yang menunjukkan arah yang salah meski letak makam sudah dekat sekali. Jadinya, ia muter-muter saja di wilayah Kasin hingga setengah jam lebih.

Akibatnya, Wali Paidi kecapaian. Dia menghentikan sepeda motornya di tepi jalan. Turun dari sepeda, sejurus kemudian Wali Paidi mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Di tengah-tengah merokok itu, Wali Paidi mulai tawasulan, dalam hati, ia berdoa dan berucap begini,

"Mbah Habib Abdul Qadir, mbah Habib Abdullah, saya mau ke makam panjenengan, tolong tunjukkan di mana makam panjenengan".

Mantap betul, Wali Paidi mulai naik sepeda motornya dan melanjutkan perjalanan. Ia hanya mengikuti apa kata hatinya. Kira-kira baru berjalan 50 meter, Wali Paidi mencium bau harum semerbak,

"
Alhamdulillah makam mbah habib sudah dekat," batinnya.

Wali Paidi mengikuti bau harum yang diciumnya itu, dan tidak begitu lama akhirnya Wali Paidi sudah berada di depan makam umum Kasin. Ia masuk makam, berputar dari gerbang samping. Tampak di tengah makam itu ada bangunan kecil yang atasnya ada kubah hijau. Di bawah kubah inilah makam Habib Abdul Qadir Bilfaqih dan putranya, Habib Abdullah Bilfaqih.

Ketika berada tepat di depan makam yang ada pagar stainlessnya, Wali Paidi membaca salam yang dicatatkan oleh romo kiainya tadi,

"
Salaamullahi ya saadah minarrohmani yaghsyakum…."

Baru satu bait dibaca, hawa di sekitar Wali Paidi terasa sudah lain dari yang tadi. Saking terkejutnya, Wali Paidi sampai terdiam sebentar, lalu dia melanjutkan membaca syiir Salam itu sampai selesei. Ia menunduk penuh ta’dzim. Wali Paidi merasa ada dua sosok agung yang mengawasinya dari dalam.

Setelah selesai membaca syiir Salam, Wali Paidi beranjak ke dekat makam dan duduk, memulai membaca tahlil.

Baru saja Wali Paidi duduk, tiba-tiba ada suara bedug yang ditabuh, 
dum…..diiringi hawa yang menerpa tubuh Wali Paidi. Ketika hawa itu menerpa tubuhnya, seluruh tubuh Wali Paidi serentak berdzikir… Alah…Allah…Allah….

Wali Paidi membaca tahlil diiringi dengan suara bedug 
dum….Allah…Allah…Allah/ dum….Allah…Allah…Allah… ketika hawa itu menerpa Wali Paidi, serentak seluruh tubuhnya berdzikir……

****

Wali Paidi menyelesaikan pembacaan tahlilnya tepat adzan Maghrib berkumandang. Ia berjalan mundur ketika keluar dari makam dan langsung menaiki sepedanya mencari masjid terdekat. Wali Paidi mengikuti adzan yang didengarnya berniat shalat. Tapi semakin mendekat, suara adzannya justru kian menjauh. Akhirnya, Wali Paidi memutuskan untuk putar balik mencari masjid yang lain. Wali Paidi merasa masjid yang dituju tidak mau menerimanya.

Wali Paidi menyusuri jalan ke arah alun-alun Kota Malang. Dia berjalan pelan, bersiap kalau ada masjid yang dilaluinya berharap akan berhenti. Ketika Wali Paidi berada di depan rumah makan Cairo (resto menu Timur Tengah), hatinya menyuruh belok kiri.

Setelah berjalan 20 meteran, Wali Paidi melihat ada masjid di sebelah kiri jalan, masjid tersebut posisinya agak masuk ke dalam. Dia memasukkan sepedanya dan parkir di halaman masjid itu. Terlihat sebagian jamaah sudah keluar dari masjid karena sholat Maghrib sudah selesai.

Wali Paidi melangkah masuk mencari kamar kecil, lalu keluarlah seorang yang kulitnya agak hitam dan berambut agak gondrong dari dalam masjid, yang seakan menyambutnya, "melihat dari sarungnya yang 
ngelinting dan baju kokonya yang putih lusuh serta mangkak mburik, mungkin orang ini tukang becak," gumamnya.

Wali Paidi kaget (dia sering kegetan memang), ketika bertanya padanya di mana letak kamar kecil itu, wajah orang tersebut terlihat jelas mirip wajah Arab habaib. Sorot mata dan wajahnya sangat tajam.

Ke kamar kecil, kencing Wali Paidi 
mobat mabit tidak tenang. Dia merasa berdosa karena mengira habib tersebut sebagai adalah tukang becak yak nah. Habis dari kamar kecil, dia berniat meminta maaf kepadanya.

Anehnya, ketika Wali Paidi selesai berwudlu dan mau masuk ke masjid, habib yang dimaksud sudah tidak ada. Disusul ke parkiran, tidak ada, ke dalam masjid, juga tidak ada. Wali Paidi merasa menyesal karena gampang berburuk sangka kepada orang lain, gampang menilai seseorang dari tampilan luarnya saja.

Wali Paidi tidak tenang ketika melaksanakan sholat Maghrib. Dalam shalatnya, dia meminta kepada Allah untuk dipertemukan dengan habib tersebut. Mengakhiri sholat, mengucapkan salam, menoleh ke kiri, ajibnya, habib yang dicarinya sudah berdiri di samping. Ya Allah, ini siapa sebetulnya?

Wali Paidi berniat mendekat, mau mencium tangannya, tapi habib muda tersebut langsung lari ke luar masjid menuju jalan raya terus, hilang entah kemana.

"
Subhanallah, ternyata di Kota Malang yang hiruk pikuk dunia ini masih ada kekasih Allah yang berseliweran, seharusnya aku tadi minta kepada Allah tidak hanya bertemu, tapi juga minta bisa diberi kesempatan untuk mencium tangannya," gumamnya.

Setelah berdzikir sebentar, datanglah seorang pemuda pengurus masjid mendekatinya sambil memberi secangkir teh jahe kepadanya, dan Wali Paidi melihat banyak habib-habib sepuh mulai berdatangan memasuki masjid. Rupanya, sehabis Maghrib di masjid ini, diadakan rutinan membaca 
Raatibul Haddad.

Wali Paidi berniat untuk keluar karena merasa tidak pantas mengikuti acara tersebut. Bagaimana tidak, yang datang semuanya berjubah, sedang dirinya bercelana jeans dan berkaos oblong hitam dengan gambar Gus Dur sedang tertawa lebar. Hahaha.

Ketika Wali Paidi berdiri, dia mendengar suara tanpa wujud yang berkata kepadanya (
hatif), "kamu mau pergi ke mana, apakah kamu tidak malu menolak undangan Nabi Muhammad?"

Wali Paidi duduk kembali, mengurungkan niatnya untuk keluar masjid. Dia mengikuti pembacaan 
Raatibul Haddad sampai selesai. Wali Paidi merasa malu sekali kepada habib-habib sepuh yang hadir di majelis, terutama kepada Nabi Muhammad yang mengundangnya.

Lalu, siapa habib yang keluar dari masjid tadi? Wali Paidi masih bertanya-tanya? Jangan-jangan memang tukang becak betulan? Bersambung! 

[dutaislam.com/ab]





 Allahu Akbar, Wali Paidi Menyaksikan Pastor Katolik Vatikan Meninggal Husnul Khatimah


DutaIslam.Com –

 

Wali Paidi tertidur di serambi masjid pondok. Setelah selesai menyapu halaman pesantren, Wali Paidi pergi ke serambi masjid sebelah kiri dan menjalankan shalat dhuha dan tertidur pulas.

Dalam tidurnya, Wali Paidi bermimpi melihat seorang Pastor Katolik di sebuah gereja yang sangat besar. Terlihat, pastor itu terlihat membaca kitab Injil, "Injil Perjanjian Lama ini isinya lebih sempurna," ucap sang pastor.

Wali Paidi seakan melihat film tentang kehidupan singkat seorang pastor panutan semua orang Katolik di seluruh dunia. Terlihat oleh Wali Paidi, pastor ini begitu serius membaca Injil Perjanjian Lama hingga beberapa hari itu pastor tidak keluar kamar karena sibuk membaca Injil yang sangat menarik hatinya. Di bab terakhir, pastor membaca, bakal datang Nabi terakhir.

Setelah membaca Injil Perjanjian Lama, pastor ini sulit tidur, dia kepikiran tentang sosok Nabi terakhir tersebut. Pastor ini yakin benar sosok Nabi itu adalah orang Islam, yakni Nabi Muhammad yang benar adanya, karena sosok Nabi Muhammad memang sesuai dengan isi Injil Perjanjian Lama yang dibacanya.

Dan ketika pastor ini berkunjung ke Mesir, ia mengambil kesempatan untuk bertemu mufti-mufti Mesir, bertanya mengenai agama Islam. Ia ingin mempelajari Islam lebih dalam. Salah satu mufti Mesir memberikannya hadiah sebuah Al-Quran.

Setelah acara kunjungan di Mesir selesei, dia kembali ke Vatikan dan mulai membaca lembar demi lembar isi Al-Qur'an. Anehnya, pastor ini semakin kagum dengan isi Al-Qur'an yang dibacanya itu. Setiap ada waktu luang, ia selalu membaca Al-Quran. Setelah khatam, dia selalu mengulanginya lagi. Dan, tanpa disadari, dia kemudian mendapatkan kenikmatan membaca Al-Quran.

Lain waktu ketika pastor ini bertemu dengan Mufti Mesir yang memberinya Al-Qur'an waktu itu, pastor ini berkata:

"Aku tidak akan bisa tidur sebelum membaca beberapa ayat dari Al-Qur'an. Terimakasih telah memberikan Al-Qur'an yang begitu mengagumkan ini kepadaku!".

Walau begitu, pastor ini belum mau membaca syahadat meski hatinya sudah yakin mengenai kebenaran agama Islam. Pasalnya, situasi dan kedudukannya tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut.

Lalu, dalam cerita di mimpinya, Wali Paidi melihat sang pastor tersebut terbaring dalam keadaan sakit dan mendekati ajal. Ketika pastor ini melihat ada malaikat yang datang padanya, pastor ini bertanya, "siapakah anda?"

"Aku adalah Izrail yang disuruh Allah untuk mencabut nyawamu hari ini".

"Sungguh benar apa yang dikatakan di dalam Al-Quran mengenai hal ini".

Ketika ruh pastor ini baru melewati jari-jari kakinya, pastor ini dengan penuh keyakinan berkata, "
Asyhadualla ilaha Illa Allah, wa Asyhadu anna Muhammad Rasululullah....".

Dan seketika itu juga Allah mengangkat derajat pastor ini menjadi salah satu walinya. Para wali Allah di seluruh dunia banyak yang menyaksikan bahwa ruh pastor ini keluar menuju ke hadirat Allah dan diberi kenikmatan di sisinya, tidak menuju ke neraka.

Para wali yang melihat hal ini saling bertakbir dan bertahmid memuji kebesaran Allah.

Wali Paidi terbangun dari mimpinya di masjid itu, lalu beranjak pergi ke warung kopi belakang pondok. Baru saja duduk, ia melihat berita di televisi pojok warung memberitakan meninggalnya Paus Yohanes Paulus II di Vatikan.

[dutaislam.com/ab]



 Wali Paidi Disebut Gila Karena Makan Kulit Semangka Tong Sampah, Tapi Gembira

DutaIslam.Com –

Wali Paidi duduk dengan tenang. Ia mengambil secangkir kopi yang ada disampingnya. Dengan perlahan, dia melanjutkan menghisap rokok mastna wastulasta wa ruba'a (234, Dji Sam Soe)-nya. Santai, angin semilir menerpa wajahnya.

Setelah kebul rokoknya habis, Wali Paidi berada di atas menara Masjid Kudus, yakni masjid peninggalan Sayyid Jafar Shodiq bin Ustman Haji, Sunan Kudus. Wali Paidi membasahi mulutnya lagi dengan kopi seperti orang berkumur. Mulailah dia tawassulan.

Ketika Fatihah pertama dibaca, angin dengan sangat perlahan mulai berhenti. Khusyuk, Wali Paidi mulai membaca wirid-wirid khusus amalan thoriqoh yang dianutnya. Suasana jadi hening, seakan bumi dan seluruh hawanya berhenti. Syahdu.

Ketika itulah sifat asli Wali Paidi perlahan hilang berganti sifat mulia guru mursyidnya. Dan dengan perlahan sifat gurunya juga mulai hilang berganti sifat ilahiyyah. Di sini Wali Paidi merasakan ketenangan yang begitu luar biasa, seakan Wali Paidi berada di dalam lautan yang begitu luas.

Sirr Wali Paidi keluar dari tubuhnya, melayang-layang ke angkasa. Wali Paidi bisa melihat tubuhnya yang sedang duduk di atas menara. Sirr Wali Paidi terus melayang mengitari kota Kudus, dan mulai terdengarlah sebuah tangisan yang begitu menyayat hati.

Sirr Wali Paidi mengikuti dari mana asal suara itu. Sirr Wali Paidi turun mendekati keranjang sampah. Dari situlah asal suara tangisan suara itu berasal. Sirr Wali Paidi makin mendekat. Di lihatnya, yang menangis ternyata bukan manusia, tapi kulit semangka. Masyaallah.

"Mengapa kamu menangis?" tanya sirr Wali Paidi.

"Aku sedih, ketika aku tumbuh besar dan terasa manis, aku diambil oleh petani dan dijualnya. Aku begitu senang bisa membahagiakan para petani. Tapi ketika mau dimakan, aku ditinggalkan dan dibuang, hanya isinya yang dimakan. Aku merasa tidak ada manfaatnya," jawab kulit semangka, bukan tenang malah menangis lagi. Dalam hati, Wali Paidi ingin memberinya rokok Samsu, "tapi, ah ini kan semangka, dari mana dia akan menghisap rokokku?" batinnya.

"Jangan bersedih, aku akan kembali lagi ke sini," kata sirr Wali Paidi setelah gumam memberinya rokok pasti tidak akan berguna dan tentu ditolak si semangka. Cup cup kang Semangka!

Secepat kilat, sirr Wali Paidi kembali ke tubuhnya. Sehabis mengambil rokoknya Wali Paidi turun dari menara dan pergi ke tempat kulit semangka yang dilihat tadi. Ia masih ingat betul bahwa keranjang sampah itu berada di halaman sebuah masjid yang berada di tengah Kota Kudus.

Setelah sampai lokasi adik Semangka, Wali Paidi langsung menuju keranjang sampah itu, dan mulai mengais-sampah. Wali Paidi tersenyum serta sumringah ketika ia menemukan kulit semangka itu. Begitu lahapnya dia memakan kulit semangka itu. Orang-orang yang tadarusan di dalam masjid heran melihat tingkahnya tentunya.

"Oh, ternyata orang gila tho," batin mereka. Wali Paidi dianggap gila oleh mereka.

Kulit semangka belum rampung dikunyah Wali Paidi, namun ia buru-buru pergi meninggalkan masjid. "Mungkin beginilah yang dialami oleh Imam al Ghazali yang pada waktu itu terkenal dengan tirakat doyan memakan kulit semangka yang dicarinya di keranjang-keranjang sampah," Wali Paidi hanya membatin betapa Imam Ghazali sangat mengenal sirr nya.

******

Malam itu, di sekitar Menara Kudus, hati Wali Paidi menyeruak kegalauan. Tiba-tiba saja perasaan itu menghinggapi hatinya. Kepalanya ikut-ikutan pusing saja.

"Hmmm....pasti ini ada yang 
ngerasani (gosipin) aku". Padahal dia paling suka dirasani sebagai orang gila.

Wali Paidi menselonjorkan kaki lalu menyandarkan tubuhnya di tiang masjid menara. Ketika Wali Paidi mau beranjak dari tempat duduk, datanglah seorang tamu yang langsung nyelonong masuk dan mendekati Wali Paidi. Makin dekat tamu itu ke tubuh Wali Paidi. Dan,

"Huekk juh!" Si tamu tiba-tiba menujukkan semangat meludahi Wali Paidi. Kaget bukan kepalang tentu. "Siapa si tamu ini, kok tiba-tiba saja meludahi aku," batinnya.

"Huek, huek, juh!" si tamu meludah lagi, kali ini mengenai mata Wali Paidi. Tapi dia diam saja. Dengan ujung bajunya, dia mengusap ludah yang mengenai wajah itu.

Terus berlanjut, dengan bekacak pinggang, si tamu mengangkat wajahnya lagi lalu menunduk lagi dan, "huekkkkk... juh..juh.." si tamu mengeluarkan semua ludahnya. Kontan saja wajah Wali Paidi langsung jibrat ludah semua. Banjir bau bacin.

Wali Paidi mulai menangis, ia tidak merah, tapi perlahan Wali Paidi mengusap lagi wajahnya, lalu dengan lembut Wali Paidi bertanya kepada si tamu, "siapakah tuan?"

"Aku adalah malaikat yang disuruh mengujimu, karena orang-orang banyak yang memuji kalau kamu adalah orang yang sabar. Makanya Allah menyuruhku untuk membuktikan apakah benar pujian orang terhadapmu, dan ternyata benar, kau memang orang yang sabar," jawab orang itu tersenyum, lalu ngeloyor pergi. "Enak ya jadi malaikat," batin pembaca cerita ini. Hahaha

Wali Paidi hanya tertegun, dan tidak begitu lama datang lagi orang yang sangat perlente. Kali ini wajahnya ganteng, gagah dan memakai stelan jas dan berdasi. Sungguh gagah dan ganteng sekali melebihi suami Raisa pokonya.

Setelah turun dari mobil mewahnya, si tamu ini mendekati Wali Paidi, dan dengan tersenyum si tamu itu duduk di dekatnya, "mas, maaf mengganggu sebentar, bisa minta duwitnya mas, ATM saya tadi hilang, buat beli bensin mawon," kata si tamu.

"Minta berapa?" Tanya Wali Paidi, masih dengan pandangan yang mengherankan atas penampilan tamu barunya itu.

"Sedikit mas, 1 juta saja".

"Wah, kalau segitu tidak punya aku".

"Ya berapa saja, pokoknya ada," si tamu terus mendesak.

Wali Paidi agak ragu, tapi dia membuang jauh-jauh perasaan itu. Bagaimanapun, dia harus menolong orang yang butuh, tak peduli siapapun itu. Wali Paidi menurunkan kopyahnya dan mengambil uang dari selipan kopyahnya. Tanpa dihitung, dia menyerahkan semuanya.

"Terima kasih, ternyata benar pujian orang-orang terhadapmu, kamu adalah orang yang dermawan," kata si tamu.

"Siapakah tuan?"

"Aku adalah malaikat yang disuruh mengujimu".

Wali Paidi menunduk, dia sadar sekarang, mengapa hatinya jadi galau dan kepalanya jadi pusing. Ternyata banyak orang yang ngerasani dengan memuji-muji dirinya, bukan dengan mencacinya.

Dia tahu bahwa Allah lah yang pantas dipuji. Allah lah yang Maha Penyabar. Allah lah yang Maha Dermawan. Allah cemburu dan mengutus malaikat mengujiku karena banyak yang memuji aku sebagai orang yang sabar dan orang yang dermawan

"Assalamu'alaikum," Wali Paidi tersadar dari tafakkurnya setelah mendengar suara orang yang mengucapkan salam kepadanya.

"
Waalaikum salam," jawab Wali Paidi berdiri.

Di depan Wali Paidi, jumleger mak jegagik ada wanita yang sangat cantik, bercelana ketat dengan atasan baju longgar, berlengan panjang putih serta dan memakai kerudung ala kadarnya. Tampak rambutnya yang duhai berkilau kemerahan. Sungguh menggemaskan.

"Kenalkan nama saya Mulan Jameela," ucap wanita ini dengan genit sambil menyodorkan tangannya. Tapi Wali Paidi hanya terdiam, "ujian apalagi ini, diuji apa lagi diriku ini," ia mengucap itu karena ini adalah yang paling berat. Tapi apa ada malaikat berjenis kelamin perempuan, cantik pula.

Ya Allah, temukan saja aku dengan semangka di Kota Kudus itu. Aku lebih suka menolong makhlukmu si kulit semangka itu daripada harus mendapat cobaan berat seorang Mulan ya Allah, apalagi Raisa. "Lebih baik dirasani gila daripada dirasani dermawan dan sabar, tapi terserah jenengan Gusti, saya pasrah," batinnya. 

[dutaislam.com/ab]



 Malaikat Datang Membawakan Oleh-oleh Saat Wali Paidi Sakit, Apa Itu?


DutaIslam.Com – 

 

Setelah pertemuan di Gunung Pring Magelang itu, Wali Paidi jatuh sakit. Ia menempuh perjalanan jauh yang tak terencana sebelumnya. Wali Paidi pindah dari truk satu ke truk lainnya. Kadang kehujanan, dan seringkali kepanasan. Tubuh Wali Paidi tidak kuat menerima semua itu.

Ia terbaring tak berdaya. Badannya panas, matanya semakin cekung karena kurang tidur. Namun senyumnya masih tetap sama, cerah dan menyenangkan, tidak nampak seperti orang yang sedang terkana penyakit. Mendengar Wali Paidi sakit, para tetangga menjenguknya. Di antara mereka ada yang berinisiatif mengantarkan Wali Paidi berobat ke rumah sakit terdekat, tapi ditolak.

"Biarlah, 2 atau 3 hari juga akan sembuh sendiri," jawabnya.

Para tetangga sangat sayang kepada Wali Paidi bukan karena dia wali (banyak yang tidak tahu kalau Paidi adalah waliyullah), dan bukan juga karena ia orang kaya. Wali Paidi disayang banyak orang karena ia dikenal dermawan, 
nyah-nyoh, suka menolong dan sopan terhadap yang tua serta sayang kepada yang lebih muda.

Ia terus sakit. Memasuki hari ketiga, demam tubuh yang dialami Wali Paidi makin meninggi. Sehabis shalat Isya yang ia lakukan dengan berbaring, tubuhnya tak lagi kuat kuat menahan. Ia pun akhirnya tidak sadar dan pingsan.

Lama sekali ia tidur dalam ketidaksadaran itu hingga ada seseorang yang datang menyeka tubuhnya dengan handuk dingin. Ia akhirnya siuman saat merasakan handuk laki-laki tampan dan bersih itu.

"Siapa Anda?"

"Saya adalah amalan sholawat yang biasa sampeyan baca. Saya akan menjaga sampeyan sampai sembuh," ucap pemuda. Deg, Wali Paidi kaget.

"Apakah aku sudah mati?"

"Belum," senyum mengembang dari pemuda tampan tak dikenal itu.

Wali Paidi tertegun dan terdiam. Tidak lama kemudian, ada yang mengetuk pintu kamar Wali Paidi.

"
Assalamu’alaikum".

"
Waalaikumsalam," Wali Paidi dan pemuda menjawab bareng.

Sang Pemuda itu lalu membungkukkan badannya dan berbisik kepada Wali Paidi, "Kang, tamu yang datang ini adalah malaikat," bisiknya.

"Apakah ia Malaikat Izrail?"

"Hehehe, bukan, tapi Malaikat Rahmat".

"Kalau begitu bukakan saja pintu kamarnya, Mad. Tak apa kan kalau kamu aku panggil Somad?" ujar Wali Paidi

"Iya, tak masalah kang," Somad membuka pintu kamar.

Tampak masuk seorang pemuda yang juga tampan. Ia seperti membawa baskom.

"Siapakah Anda?" Wali Paidi bertanya lagi kepada tamu kedua nya itu.

"Saya Malaikat Rahmat."

"Kopikah yang kau bawa di baskom itu," Wali Paidi jan tenan. Dia memang sudah lama tidak ngopi sejak sakit. Melihat baskom, pikirannya kopi dan kopi. Wali Paidi memang dikenal Sufi (Suka Kofi).

"Hahaha...kang....kang," Somad tertawa.

Malaikat Rahmat lalu meletakkan baskom di meja yang terletak di sebelah kiri tempat tidur Wali Paidi, lalu ia berkata, "Ini bukan kopi kang. Tapi air dari telaga Kautsar untuk diminum dan buat berwudlu".

Cling, setelah mengantar oleh-oleh dari telaga Kautsar, malaikat berwujud pemuda tampan tadi pamit. Namun selang lima menit kemudian, datang lagi seorang tamu.

Ternyata, tamu yang akan datang ini adalah Baginda Nabi Muhammad Saw. Kamar Wali Paidi yang awalnya bau apek, mendadak harum semerbak setelah Baginda Nabi datang. Wali Paidi berusaha bangkit menghormati beliau, tapi Nabi menyuruhnya tetap berbaring

"Ali Firdaus, bergembiralah, karena derajatmu sudah dinaikkan oleh Allah," ucap Baginda Nabi.

Nama asli Wali Paidi adalah Ali Firdaus, tapi Nabi Khidir senang memanggil dengan sebutan Paidi. Dari kata faedah. Harapan Nabi Khidir, Wali Paidi bakal menjadi orang yang berfaedah. Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat buat sesamanya, dan itu akhirnya terbukti.

Mendengar perkataan Nabi, Wali Paidi hanya bisa menangis, tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisam menangis dan menangis lagi.

Setelah Baginda Nabi Muhammad keluar, datang kemudian Nabi Khidir. Beliau inilah yang banyak menurunkan ilmu-ilmu hikmah luar biasa kepada Wali Paidi. Walau pertemuan Wali Paidi dengan Nabi Khidir begitu singkat, tapi ilmu yang didapat Wali Paidi sama dengan ilmu orang yang belajar selama 100 tahun.

Setelah Nabi Khidzir, datang silih berganti wali-wali yang dikenal Wali Paidi. Menjelang shubuh, datanglah Mas Kiai mursyid, guru dari Wali Paidi. Kala itu, tubuh Wali Paidi sudah segar dan sehat. Ia datang membawa kopi dan rokok.

Usai jamaah Subuh, mereka berdua ngopi dan ngerokok bareng. Wali Paidi dapat dapat banyak wejangan dari mas kiai mursyid, yang sedikit membuka rahasia Arsy kepadanya, membuka jalan yang akan dihadapi Wali Paidi kelak.

Ketika sakit, para wali Allah itu banyak mendapatkan ilmu-ilmu hikmah yang luar biasa. Kita melihat mereka dengan pandangan kasihan karena sakit. Tapi di balik itu semua, para wali Allah sangat berbahagia. Sakitnya para wali justru bisa lebih mendekatkan derajat iman dan taqwanya kepada Allah. Dinaikkanlah derajatnya.

[dutaislam.com/ab]



Jumat, 07 Juli 2023

 Wali Paidi Bertemu Rasulullah di Gunung Pring Magelang, Apa yang Terjadi?


Setelah cerita soal Gus Dur, Wali Paidi ngeloyor pergi. Dia berjalan terus tanpa peduli arah dan tujuan. Berjalan terus sambil menikmati rokoknya. Ia sudah sekian jauh melangkah dan lama demi menghindari tetangga dan orang-orang yang tahu hakikatnya.

Seperti tidak sadar, tiba-tiba saja hati Wali Paidi dipenuhi dzikir dengan Allah dan bersama Allah, Wali Paidi merasa, seakan-akan dia tidak berjalan di atas bumi. Ia seperti terbang, tubuhnya ringan dan hatinya dipenuhi kebahagiaan.

Wali Paidi baru tersadar ketika adzan Subuh berkumandang. Di depan, nampak sebuah masjid yang semuanya terbuat dari bambu. Ia lalu berhenti sebentar. Ia melihat banyak orang yang sudah ada di dalam masjid, menunggu jamaah.

Di antara mereka, ada yang pakai jubah, sorban, sarung dan bahkan ada yang dilengkapi dengan kopyah. Ada juga yang memakai celana tapi tetap berkopyah. Yang membuat Wali Paidi kagum adalah tiadanya lampu sama sekali, baik di dalam maupun luar masjid. Anehnya, lingkungan sekitar masjid tampak terang benderang. Ada cahaya yang nampak keluar dari orang-orang yang berada di dalam masjid. Ternyata, cahaya itulah yang menerangi seluruh masjid. 
Subhanallah!

Penasaran, Wali Paidi ikut memandangi tangannya, apakah dia ikut juga bercahaya? Ternyata tangannya juga mengeluarkan cahaya. 
Ya Allah ya Robbi! Ia meneruskan cek seluruh tubuh. Ternyata benar, kaki dan seluruh badannya juga ikut bercahaya. Masyallah, tempat apaan ini?

Karena sama-sama bercahaya, Wali Paidi mulai berani memasuki masjid dan ikut sholat berjamaah di sana. Ia shalat di barisan paling belakang karena hanya di barisan inilah yang tersisa tempat kosong. Wali Paidi melihat mereka, sela-sela tubuh para jamaah yang bercahaya itu, ada cahaya besar dan sangat terang muncul dari imam sholat. Saking terangnya, ia tidak bisa melihat wajah sang imam. Tubuhnya dikelilingi cahaya yang sangat terang sekali.

Baru kali ini Wali Paidi merasakan sholat yang begitu indah dan sangat syahdu. Suara imam yang begitu merdu membuat Wali Paidi seakan-akan diajak berjalan mengelilingi rahasia ayat-ayat Allah yang sedang dibaca imam shalat dan didengarnya itu.

Selesei shalat, Wali Paidi baru 
ngeh, ternyata di samping tempat dia jamaah barusan, ada sosok yang sangat ia kenal. Namanya Mbah Parmin, seorang kusir bendi di kampung. Di tempat misterius ini, tubuh Mbah Parmin juga ikut mengeluarkan cahaya.

"Paidi, tolong nanti kalau di rumah jangan bilang siapa-siapa tentang masalah ini," buru-buru Mbah Parmin menitip pesan ke Wali Paidi.

Sehabis dzikir, Wali Paidi memulai obrolan dengan Mbah Parmin di teras.

"Siapa yang ngimami sholat subuh tadi, Mbah".

"Beliau adalah Baginda Nabi Muhammad," jawab Mbah Parmin, "di barisan depan itu adalah wali-wali Qutb. Di barisan berikutnya adalah wali-wali yang derajatnya di bawah wali Qutb. Mereka berbaris sesuai tingkatannya, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup, semuanya hadir di sini," lanjutnya.

Wali Paidi dan Mbah Parmin sama-sama tersenyum karena keduanya sadar berada di barisan paling belakang di antara para jamaah.

Tidak lama kemudian, acara dilanjutkan saling bersalaman, sambil membaca sholawat. Saat itulah Wali Paidi bertemu guru mursyidnya dan wali-wali yang selama ini cuma mendengar tentang ceritanya saja di masyarakat dan di kitab-kitab kuning.

Wali Paidi begitu bahagia karena bisa bersalaman dengan para wali yang selama ini sangat dicintai dan dihormatinya. Setelah selesai salim, para wali pergi sendiri-sendiri, tiba-tiba hilang entah ke mana. Akhirnya, tinggal Wali Paidi dan Mbah Parmin saja yang berada di dalam masjid. Setelah semua pergi, baru Wali Paidi dan Mbah Parmin keluar dari masjid.

"Di mana ini, Mbah?"

"Di Gunung Pring Magelang, Jawa Tengah".

Wali Paidi menoleh ke belakang, ternyata masjid itu sudah hilang

"Aku pergi dulu yah, 
assalamuálaikum," kalimat itu diucapkan Mbah Parmin saat pamitan. Ia berjalan di sela-sela pepohonan, lama-lama ikut menghilang juga di tengah hutan belantara.

"Waduh Mbah, aku sebenarnya mau pinjem duit dulu buat sangu pulang sebelum jenengan 
ngilang, duh!" Ia sudah telat, Mbah Parmin sudah kadung ngilang.

"Terpaksa 
nggandul truk lagi ini," Wali Paidi akhirnya melangkah pergi juga, mencari truk. Kasihan juga.

Selama masih ada rokok dan kopi, tidak ada masalah bagi Wali Paidi menghadapi situasi kantong kering bolong, alias kepepet tanpa duit. Ia keluarkan rokok dari selipan kopyah, menyalakannya, jedal-jedul merokok sebentar, dan, terus berjalan ke depan.

Wali Paidi tidak berani mencoba 
ilmu melipat bumi yang dimilikinya, karena Wali Paidi takut kesasar-sasar seperti waktu itu. Wali Paidi berjalan sambil mengenang kembali pertemuannya dengan para wali dan juga Baginda Nabi Muhammad barusan meski ia tidak dapat begitu jelas melihat wajah mulia Rasulullah saking terangnya nur cahaya beliau.

Wali Paidi masih ingat perkataan Rasulullah ketika acara bersalam-salaman tadi. Bahwa bala' atau adzab Allah akan segera diturunkan. Para wali diperintah oleh Baginda Nabi agar bersiap-siap menerimanya, sesuai dengan tingkatannya kewalian yang diberikan Allah.

Ketika bala' atau adzab turun ke bumi, yang pertama kali menanggung adalah para wali Allah. Semakin tinggi derajat seorang wali, semakin besar pula adzab yang akan ditanggungnya. Para wali melakukan hal tersebut agar ketika adzab itu sampai diterima oleh umat manusia lainnya, hanya tinggal sedikit dan ringan efeknya.

MasyaAllah, betapa besar rasa cinta mereka kepada kita semua, umat manusia, bukan hanya umat Islam saja. Kadang bala' atau adzab Allah itu tidak sampai menimpa umat manusia karena sudah habis ditanggung para wali. Namun jika bala' atau adzab Allah itu begitu besar dan luas, maka adzab itu baru menimpa manusia.

Dan bala' atau adzab yang paling ringan diterima umat manusia adalah "
ndas ngelu gak ngerti sebabe" (kepala pusing tidak tahu penyebabnya) disertai dengan perasaan sedih dan galau yang tidak tahu penyebabnya juga.

Tanpa terasa, Wali Paidi sudah sampai di jalan raya, dan dilihatnya ada sebuah truk yang melintas. Wali Paidi menyetop dan minta nebeng ke sopir. Maklum, ia kehabisan bekal dan uang di tengah hutan tadi.

[dutaislam.com/ab]



 Sang Wali Cerita Ibu Mega yang Ngambek Saat Disebut Bodoh Oleh Gus Dur


DutaIslam.Com –

Sehabis tahlil bersama dalam rangka memperingati Haul Gus Dur ke II, Wali Paidi bersama warga berkumpul bareng, ngopi. Mereka saling berkelompok antara tiga sampai empat orang membicarakan dan mengenang Gus Dur, yang sesekali diselingi adu argumen tentang rahasia sang Guru Bangsa itu.

Ia bersama empat orang lainnya duduk bersama ditemani satu cangkir kopi besar ditaruh di tengah. Joinan kopi dan rokok bersama. Indah, rukun, sepi umpatan.

"Gus Dur jadi presiden kok cuma sebentar itu menurut sampeyan gimana kang?" Paijo, tetangga Wali Paidi mulai membuka pembicaraan dengan bertanya kepada Wali Paidi

"Sebelum kita membahas tentang itu semua, alangkah baiknya kita mengulas lagi sejarah sebelum Gus Dur jadi presiden".

"
Piye kang ceritane?" teman yang lain ikut penasaran atas apa yang akan keluar dari pendapat Wali Paidi.

Dulu ada seorang kiai di Blitar, namanya Kiai Rohimi. Beliau dikenal ahli istikharah. Banyak sekali kiai yang sowan kepadanya menanyakan apa makna isyarah yang diterima. Anehnya, Kiai Rohimi bisa menafsirkan isyarah-isyarah yang ditanyakan banyak orang kepadanya. Tidak pernah meleset. Dan hampir 100 persen mendekati kebenaran.

Padahal, kehidupan sehari-harinya hanya petani desa sederhana. Tiap pagi diantar cucu pergi ke sawah naik sepeda onthel. Para tamu yang hendak sowan biasanya harus menunggu Kiai Rohimi pulang, menunggu di depan ndalem beliau.

Di rumah yang berdinding kayu jati itulah, Kiai Rohimi menerima para tamu. Namun, ada sebuah kamar yang hanya khusus diperuntukkan kepada Gus Dur jikalau datang berkunjung ke situ dan menginap. Sebelum jadi presiden, Gus Dur memang banyak menerima isyarah dan menanyakan makna isyarah itu kepada Kiai Rohimi.

"Kiai rohimi ini tingkatannya lebih tinggi daripada Gus Dur ya kang, sampai Gus Dur sendiri minta tolong untuk menafsiri isyarah yang diterima," Paijo nyeletuk ke kepada Wali Paidi.

"Tidak mesti begitu. Kamu tahu Pak Ridwan tetangga kita yang jadi dosen di salah satu universitas terkenal itu?"

"Iya, saya tahu kang".

"Ketika ban mobilnya bocor, apa Pak Ridwan menambal ban mobilnya sendiri?"

"Tidak lah kang. Pak Ridwan jelas tidak bisa. Ban bocor akan ditambalkan ke tukang tambal ban".

"Pertanyaannya, apa tingkatan tukang tambal ban itu lebih tinggi daripada tingkatan Pak Ridwan yang dosen itu?"

"Ya tentu tidak kang".

"Begitulah apa yang terjadi di antara Gus Dur dan Kiai Rohimi. Tidak bisa diukur siapa lebih tinggi tingkatannya di antara mereka berdua," terang Wali Paidi. Rokok Dji Sam Soe nya disedot, nyeruput kopi, lalu melanjutkan cerita lagi.

"Sampeyan akan jadi orang nomor satu di Indonesia, tapi hanya sebentar," kata Wali Paidi menirukan ucapa Kiai Rohimi kepada Gus Dur kala itu.

"Berapa lama kiai?"

"Tidak sampai tiga tahun".

"Tugas yang sangat berat," ucap Gus Dur kala itu tanpa mempedulikan lama jabatannya.

"Iya ini memang tugas yang sangat berat Gus, dan sampeyan akan diturunkan oleh rakyat sampeyan sendiri," kata Kiai Rohimi.

"Kalau memang tugas, biar pun sebentar tidak apa-apa, yang penting bermanfaat," ucap Gus Dur.

***

Gus Dur menerima dengan lapang dada isyarah yang ditafsirkan Kiai Rohimi. Gus Dur tidak peduli jika dalam kepimpinanya kelak, akan direcoki dan akhirnya diturunkan secara tidak terhormat. Gus Dur memiliki prinsip, biarlah orang memusuhinya asal Allah menyayanginya. Biarlah orang menghinanya asal Allah ridla.

Beberapa bulan kemudian ganti para kiai sepuh yang mendapatkan isyarah-isyarah dari Allah mengenai Gus Dur. Para kiai tidak mau gegabah dengan menafsiri sendiri isyarah yang diterima oleh mereka. Para kiai sepuh itu sowan ke Kiai Rohimi menanyakan apa makna isyarah yang mereka terima.

Setelah mendapatkan makna isyarah Kiai Rohimi, para kiai sepuh menyampaikannya kepada Gus Dur. Sikap Gus Dur sangat ta’dzim ketika menerima mereka dan bahkan mengucapkan terimakasih karena mau memperhatikan dirinya selama ini, walau sebetulnya Gus Dur sendiri sudah tahu kalau dirinya akan jadi presiden. Gus Dur juga sudah tahu kalau masa kepemimpinannya cuma sebentar, jauh sebelum para kiai ini mengetahuinya.

Di luar sana, pertemuan antara para kiai dan Gus Dur tersebut tercium wartawan. Ramailah berita pertemuan tersebut. Oleh pewarta media, para kiai sepuh ini akhirnya dijuluki sebagai poros langit, disesuaikan dengan kelompok yang mengusung Gus Dur menjadi presiden, yakni poros tengah. Kebetulan juga, pemimpin kelompok kiai sepuh ini adalah KH Abdullah Faqih langitan Tuban. Jadi pas jika sebutan mereka itu "poros langit", alias poros Langitan.

Dan kita semua tahu, Gus Dur secara mengejutkan benar-benar jadi presiden. Namun tentunya Gus Dur dan para kiai sepuh sama sekali tidak terkejut dengan hal itu sudah tahu sebelumnya

Awal pemerintahan Gus Dur berjalan baik. Hubungan Gus Dur dengan Bu Mega nampak mesra. Mereka bergantian mengadakan sarapan pagi bersama. Kadang di istana presiden, kadang pula di istana wakil presiden. Tapi lama kelamaan para koruptor dan penggila jabatan mulai kuatir dengan ketegasan Gus Dur dalam memimpin negara ini.

Mereka mulai tidak bebas melakukan korupsi dan menumpuk-numpuk kekayaan pribadi karena ketatnya pengawasan Gus Dur kala itu. Mereka akhirnya mulai mendanai mahasiswa melakukan ndemo kepada Presiden Gus Dur. Mengangkat isu-isu yang memojokkan. Para koruptor hanya menunggu momen tepat menjatuhkan Gus Dur.

Gus Dur memang terkenal dengan gaya ngomong yang blak-blakan, Gus Dur berprinsip "
padhakno pengucapmu podho karo karepe atimu" (Samakanlah ucapanmu dengan kehendak hatimu).

Saat Gus Dur diminta pendapat oleh wartawan tentang Bu Mega yang sering diam saja, Gus Dur dengan enteng menjawab, "dia itu bodoh". Jawaban Gus Dur itu didengar oleh Pramono Anung yang ketika itu, -kalau tidak salah,- masih menjabat sebagai sekjen PDIP. Oleh Pram, jawaban Gus Dur itu disampaikan kepada Ibu Mega. Ngambek deh Bu Mega waktu itu. Ia tidak mau menemui Gus Dur ketika sarapan pagi bersama di istana wakil presiden.

Dan inilah kesempatan yang ditunggu oleh para koruptor dan penggila jabatan. Moentum ini dianggap sebagai celah asyik yang bisa buat amunisi menurunkan Gus Dur dari kursi presiden.

Pada sat ini, para kiai sepuh dapat isyarah lagi kalau Gus Dur akan dilengserkan dari kursi presiden. Para kiai sepuh poros langit ini sowan lagi kepada Kiai Rohimi, meminta pendapat dan meminta solusi menanyakan langkah terbaik agar Gus Dur masih tetap menjadi presiden.

"Gus Dur akan bisa tetap jadi presiden kalau mau meminta maaf kepada Ibu Mega, walaupun Gus Dur tidak ada niat merendahkan ibu mega," ucap Kiai Rohimi kepada para kiai sepuh.

Biarpun Kiai Rohimi sudah tahu kalau jabatan Gus Dur cuma sebentar, tapi Kiai Rohimi tetap memberi peluang kepada para kiai. Ia berkeyakinan bahwa Allah jualah yang menjadi penentu akhir suatu kisah. Isyarah hanyalah perlambang.

Para kiai kembali menemui Gus Dur dan menyampaikan apa yang diperoleh dalam isyarahnya dan juga menyampaikan pesan Kiai Rohimi. Tapi Gus Dur tidak mau melakukannya, bukan berarti Gus Dur tidak mau minta maaf karena malu atau gengsi, tapi apa yang dialami Gus Dur kurang lebih persis seperti apa yang dialami oleh Sayyidina Ali.

Dalam peperangan, ketika Sayyidina Ali mau membunuh orang kafir yang sudah terjatuh di atas permukaan tanah, ia tiba-tiba mengurungkan niat ketika orang kafir itu meludahinya. Orang kafir itu heran melihat Sayyidina Ali yang tiba-tiba urung membunuhnya itu.

"Pertama. aku memang berniat membunuhmu karena Allah, tapi ketika kamu meludahiku, terbesit perasaan marah kepadamu, maka aku urungkan niat membunuhmu karena ada niat selain Allah di hatiku," begitu kata Sayyidina Ali kepada si kafir.

Gus Dur juga demikian. Ia tidak mau meminta maaf kalau niatnya hanya karena ingin mempertahankan jabatan. Gus Dur tidak gila jabatan, dan ia memang sudah tahu kalau masa kepemimpinannya cuma sebentar. Akhirnya, kita semua tahu bahwa Gus Dur berhasil diturunkan dari kursi kepresidenan karena kasus yang dibuat-buat oleh lawan politiknya, macam buloggate.

***

Paijo dan kawan-kawannya terdiam mendengar cerita Wali Paidi ini. Mereka merasa baru mendengar cerita Gus Dur dengan Kiai Rohimi. Sangat penasaran.

"Apakah Kang Paidi pernah bertemu dengan Kiai Rohimi".

"Tidak pernah," jawab Wali Paidi kepada Paijo, ia masih menyedot rokoknya.

"Lalu, sampeyan dapat cerita darimana".

Wali Paidi tidak menjawabnya, dia hanya tersenyum dan menyeruput selepek kopi, lalu ngeloyor pergi. Namanya juga Wali Paidi, kerajaan jin di gunung Arjuna saja tahu siapa saja presidennya. Apalagi cuma cerita soal Gus Dur yang juga sering ditemui di alam kewalian sana. 

[dutaislam.com/ab]