Wali Paidi Bertemu Rasulullah di Gunung Pring Magelang, Apa yang Terjadi?
Setelah cerita soal
Gus Dur, Wali Paidi ngeloyor pergi. Dia
berjalan terus tanpa peduli arah dan tujuan. Berjalan terus sambil menikmati
rokoknya. Ia sudah sekian jauh melangkah dan lama demi menghindari tetangga dan
orang-orang yang tahu hakikatnya.
Seperti tidak sadar, tiba-tiba saja hati Wali Paidi dipenuhi dzikir dengan
Allah dan bersama Allah, Wali Paidi merasa, seakan-akan dia tidak berjalan di
atas bumi. Ia seperti terbang, tubuhnya ringan dan hatinya dipenuhi
kebahagiaan.
Wali Paidi baru tersadar ketika adzan Subuh berkumandang. Di depan, nampak
sebuah masjid yang semuanya terbuat dari bambu. Ia lalu berhenti sebentar. Ia
melihat banyak orang yang sudah ada di dalam masjid, menunggu jamaah.
Di antara mereka, ada yang pakai jubah, sorban, sarung dan bahkan ada yang
dilengkapi dengan kopyah. Ada juga yang memakai celana tapi tetap berkopyah.
Yang membuat Wali Paidi kagum adalah tiadanya lampu sama sekali, baik di dalam
maupun luar masjid. Anehnya, lingkungan sekitar masjid tampak terang benderang.
Ada cahaya yang nampak keluar dari orang-orang yang berada di dalam masjid.
Ternyata, cahaya itulah yang menerangi seluruh masjid. Subhanallah!
Penasaran, Wali Paidi ikut memandangi tangannya, apakah dia ikut juga
bercahaya? Ternyata tangannya juga mengeluarkan cahaya. Ya Allah ya Robbi! Ia meneruskan
cek seluruh tubuh. Ternyata benar, kaki dan seluruh badannya juga ikut
bercahaya. Masyallah,
tempat apaan ini?
Karena sama-sama bercahaya, Wali Paidi mulai berani memasuki masjid dan ikut
sholat berjamaah di sana. Ia shalat di barisan paling belakang karena hanya di
barisan inilah yang tersisa tempat kosong. Wali Paidi melihat mereka, sela-sela
tubuh para jamaah yang bercahaya itu, ada cahaya besar dan sangat terang muncul
dari imam sholat. Saking terangnya, ia tidak bisa melihat wajah sang imam.
Tubuhnya dikelilingi cahaya yang sangat terang sekali.
Baru kali ini Wali Paidi merasakan sholat yang begitu indah dan sangat syahdu.
Suara imam yang begitu merdu membuat Wali Paidi seakan-akan diajak berjalan
mengelilingi rahasia ayat-ayat Allah yang sedang dibaca imam shalat dan
didengarnya itu.
Selesei shalat, Wali Paidi baru ngeh,
ternyata di samping tempat dia jamaah barusan, ada sosok yang sangat ia kenal.
Namanya Mbah Parmin, seorang kusir bendi di kampung. Di tempat misterius ini,
tubuh Mbah Parmin juga ikut mengeluarkan cahaya.
"Paidi, tolong nanti kalau di rumah jangan bilang siapa-siapa tentang
masalah ini," buru-buru Mbah Parmin menitip pesan ke Wali Paidi.
Sehabis dzikir, Wali Paidi memulai obrolan dengan Mbah Parmin di teras.
"Siapa yang ngimami sholat subuh tadi, Mbah".
"Beliau adalah Baginda Nabi Muhammad," jawab Mbah Parmin, "di
barisan depan itu adalah wali-wali Qutb. Di barisan berikutnya adalah wali-wali
yang derajatnya di bawah wali Qutb. Mereka berbaris sesuai tingkatannya, baik
yang sudah meninggal maupun yang masih hidup, semuanya hadir di sini,"
lanjutnya.
Wali Paidi dan Mbah Parmin sama-sama tersenyum karena keduanya sadar berada di
barisan paling belakang di antara para jamaah.
Tidak lama kemudian, acara dilanjutkan saling bersalaman, sambil membaca
sholawat. Saat itulah Wali Paidi bertemu guru mursyidnya dan wali-wali yang
selama ini cuma mendengar tentang ceritanya saja di masyarakat dan di
kitab-kitab kuning.
Wali Paidi begitu bahagia karena bisa bersalaman dengan para wali yang selama
ini sangat dicintai dan dihormatinya. Setelah selesai salim, para wali pergi
sendiri-sendiri, tiba-tiba hilang entah ke mana. Akhirnya, tinggal Wali Paidi
dan Mbah Parmin saja yang berada di dalam masjid. Setelah semua pergi, baru
Wali Paidi dan Mbah Parmin keluar dari masjid.
"Di mana ini, Mbah?"
"Di Gunung Pring Magelang, Jawa Tengah".
Wali Paidi menoleh ke belakang, ternyata masjid itu sudah hilang
"Aku pergi dulu yah, assalamuálaikum,"
kalimat itu diucapkan Mbah Parmin saat pamitan. Ia berjalan di sela-sela
pepohonan, lama-lama ikut menghilang juga di tengah hutan belantara.
"Waduh Mbah, aku sebenarnya mau pinjem duit dulu buat sangu pulang sebelum
jenengan ngilang, duh!" Ia sudah
telat, Mbah Parmin sudah kadung ngilang.
"Terpaksa nggandul truk lagi
ini," Wali Paidi akhirnya melangkah pergi juga, mencari truk. Kasihan
juga.
Selama masih ada rokok dan kopi, tidak ada masalah bagi Wali Paidi menghadapi
situasi kantong kering bolong, alias kepepet tanpa duit. Ia keluarkan rokok
dari selipan kopyah, menyalakannya, jedal-jedul merokok sebentar, dan, terus
berjalan ke depan.
Wali Paidi tidak berani mencoba ilmu
melipat bumi yang dimilikinya, karena Wali Paidi takut kesasar-sasar seperti
waktu itu. Wali Paidi berjalan sambil mengenang
kembali pertemuannya dengan para wali dan juga Baginda Nabi Muhammad barusan
meski ia tidak dapat begitu jelas melihat wajah mulia Rasulullah saking
terangnya nur cahaya beliau.
Wali Paidi masih ingat perkataan Rasulullah ketika acara bersalam-salaman tadi.
Bahwa bala' atau adzab Allah akan segera diturunkan. Para wali diperintah oleh
Baginda Nabi agar bersiap-siap menerimanya, sesuai dengan tingkatannya kewalian
yang diberikan Allah.
Ketika bala' atau adzab turun ke bumi, yang pertama kali menanggung adalah para
wali Allah. Semakin tinggi derajat seorang wali, semakin besar pula adzab yang
akan ditanggungnya. Para wali melakukan hal tersebut agar ketika adzab itu
sampai diterima oleh umat manusia lainnya, hanya tinggal sedikit dan ringan
efeknya.
Dan bala' atau adzab yang paling ringan diterima umat manusia adalah "ndas ngelu gak ngerti sebabe" (kepala pusing tidak tahu penyebabnya) disertai dengan perasaan sedih dan galau yang tidak tahu penyebabnya juga.
Tanpa terasa, Wali Paidi sudah sampai di jalan raya, dan dilihatnya ada sebuah truk yang melintas. Wali Paidi menyetop dan minta nebeng ke sopir. Maklum, ia kehabisan bekal dan uang di tengah hutan tadi.