Pembukaan


Terima Kasih Kepada Seluruh Muslimin Dan Muslimat Yang Telah Berkunjung Ke Blog Kami, Semoga Apa Yang Anda Baca Didalam Blog Ini Dapat Bermanfaat. Sekali Lagi Syukron Katsir, Salam Ukhuwah Islamiyah.

BERSATULAH ISLAM TEGAKKANLAH AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR.

Jumat, 07 Juli 2023

 Wali Paidi Bertemu Rasulullah di Gunung Pring Magelang, Apa yang Terjadi?


Setelah cerita soal Gus Dur, Wali Paidi ngeloyor pergi. Dia berjalan terus tanpa peduli arah dan tujuan. Berjalan terus sambil menikmati rokoknya. Ia sudah sekian jauh melangkah dan lama demi menghindari tetangga dan orang-orang yang tahu hakikatnya.

Seperti tidak sadar, tiba-tiba saja hati Wali Paidi dipenuhi dzikir dengan Allah dan bersama Allah, Wali Paidi merasa, seakan-akan dia tidak berjalan di atas bumi. Ia seperti terbang, tubuhnya ringan dan hatinya dipenuhi kebahagiaan.

Wali Paidi baru tersadar ketika adzan Subuh berkumandang. Di depan, nampak sebuah masjid yang semuanya terbuat dari bambu. Ia lalu berhenti sebentar. Ia melihat banyak orang yang sudah ada di dalam masjid, menunggu jamaah.

Di antara mereka, ada yang pakai jubah, sorban, sarung dan bahkan ada yang dilengkapi dengan kopyah. Ada juga yang memakai celana tapi tetap berkopyah. Yang membuat Wali Paidi kagum adalah tiadanya lampu sama sekali, baik di dalam maupun luar masjid. Anehnya, lingkungan sekitar masjid tampak terang benderang. Ada cahaya yang nampak keluar dari orang-orang yang berada di dalam masjid. Ternyata, cahaya itulah yang menerangi seluruh masjid. 
Subhanallah!

Penasaran, Wali Paidi ikut memandangi tangannya, apakah dia ikut juga bercahaya? Ternyata tangannya juga mengeluarkan cahaya. 
Ya Allah ya Robbi! Ia meneruskan cek seluruh tubuh. Ternyata benar, kaki dan seluruh badannya juga ikut bercahaya. Masyallah, tempat apaan ini?

Karena sama-sama bercahaya, Wali Paidi mulai berani memasuki masjid dan ikut sholat berjamaah di sana. Ia shalat di barisan paling belakang karena hanya di barisan inilah yang tersisa tempat kosong. Wali Paidi melihat mereka, sela-sela tubuh para jamaah yang bercahaya itu, ada cahaya besar dan sangat terang muncul dari imam sholat. Saking terangnya, ia tidak bisa melihat wajah sang imam. Tubuhnya dikelilingi cahaya yang sangat terang sekali.

Baru kali ini Wali Paidi merasakan sholat yang begitu indah dan sangat syahdu. Suara imam yang begitu merdu membuat Wali Paidi seakan-akan diajak berjalan mengelilingi rahasia ayat-ayat Allah yang sedang dibaca imam shalat dan didengarnya itu.

Selesei shalat, Wali Paidi baru 
ngeh, ternyata di samping tempat dia jamaah barusan, ada sosok yang sangat ia kenal. Namanya Mbah Parmin, seorang kusir bendi di kampung. Di tempat misterius ini, tubuh Mbah Parmin juga ikut mengeluarkan cahaya.

"Paidi, tolong nanti kalau di rumah jangan bilang siapa-siapa tentang masalah ini," buru-buru Mbah Parmin menitip pesan ke Wali Paidi.

Sehabis dzikir, Wali Paidi memulai obrolan dengan Mbah Parmin di teras.

"Siapa yang ngimami sholat subuh tadi, Mbah".

"Beliau adalah Baginda Nabi Muhammad," jawab Mbah Parmin, "di barisan depan itu adalah wali-wali Qutb. Di barisan berikutnya adalah wali-wali yang derajatnya di bawah wali Qutb. Mereka berbaris sesuai tingkatannya, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup, semuanya hadir di sini," lanjutnya.

Wali Paidi dan Mbah Parmin sama-sama tersenyum karena keduanya sadar berada di barisan paling belakang di antara para jamaah.

Tidak lama kemudian, acara dilanjutkan saling bersalaman, sambil membaca sholawat. Saat itulah Wali Paidi bertemu guru mursyidnya dan wali-wali yang selama ini cuma mendengar tentang ceritanya saja di masyarakat dan di kitab-kitab kuning.

Wali Paidi begitu bahagia karena bisa bersalaman dengan para wali yang selama ini sangat dicintai dan dihormatinya. Setelah selesai salim, para wali pergi sendiri-sendiri, tiba-tiba hilang entah ke mana. Akhirnya, tinggal Wali Paidi dan Mbah Parmin saja yang berada di dalam masjid. Setelah semua pergi, baru Wali Paidi dan Mbah Parmin keluar dari masjid.

"Di mana ini, Mbah?"

"Di Gunung Pring Magelang, Jawa Tengah".

Wali Paidi menoleh ke belakang, ternyata masjid itu sudah hilang

"Aku pergi dulu yah, 
assalamuálaikum," kalimat itu diucapkan Mbah Parmin saat pamitan. Ia berjalan di sela-sela pepohonan, lama-lama ikut menghilang juga di tengah hutan belantara.

"Waduh Mbah, aku sebenarnya mau pinjem duit dulu buat sangu pulang sebelum jenengan 
ngilang, duh!" Ia sudah telat, Mbah Parmin sudah kadung ngilang.

"Terpaksa 
nggandul truk lagi ini," Wali Paidi akhirnya melangkah pergi juga, mencari truk. Kasihan juga.

Selama masih ada rokok dan kopi, tidak ada masalah bagi Wali Paidi menghadapi situasi kantong kering bolong, alias kepepet tanpa duit. Ia keluarkan rokok dari selipan kopyah, menyalakannya, jedal-jedul merokok sebentar, dan, terus berjalan ke depan.

Wali Paidi tidak berani mencoba 
ilmu melipat bumi yang dimilikinya, karena Wali Paidi takut kesasar-sasar seperti waktu itu. Wali Paidi berjalan sambil mengenang kembali pertemuannya dengan para wali dan juga Baginda Nabi Muhammad barusan meski ia tidak dapat begitu jelas melihat wajah mulia Rasulullah saking terangnya nur cahaya beliau.

Wali Paidi masih ingat perkataan Rasulullah ketika acara bersalam-salaman tadi. Bahwa bala' atau adzab Allah akan segera diturunkan. Para wali diperintah oleh Baginda Nabi agar bersiap-siap menerimanya, sesuai dengan tingkatannya kewalian yang diberikan Allah.

Ketika bala' atau adzab turun ke bumi, yang pertama kali menanggung adalah para wali Allah. Semakin tinggi derajat seorang wali, semakin besar pula adzab yang akan ditanggungnya. Para wali melakukan hal tersebut agar ketika adzab itu sampai diterima oleh umat manusia lainnya, hanya tinggal sedikit dan ringan efeknya.

MasyaAllah, betapa besar rasa cinta mereka kepada kita semua, umat manusia, bukan hanya umat Islam saja. Kadang bala' atau adzab Allah itu tidak sampai menimpa umat manusia karena sudah habis ditanggung para wali. Namun jika bala' atau adzab Allah itu begitu besar dan luas, maka adzab itu baru menimpa manusia.

Dan bala' atau adzab yang paling ringan diterima umat manusia adalah "
ndas ngelu gak ngerti sebabe" (kepala pusing tidak tahu penyebabnya) disertai dengan perasaan sedih dan galau yang tidak tahu penyebabnya juga.

Tanpa terasa, Wali Paidi sudah sampai di jalan raya, dan dilihatnya ada sebuah truk yang melintas. Wali Paidi menyetop dan minta nebeng ke sopir. Maklum, ia kehabisan bekal dan uang di tengah hutan tadi.

[dutaislam.com/ab]



 Sang Wali Cerita Ibu Mega yang Ngambek Saat Disebut Bodoh Oleh Gus Dur


DutaIslam.Com –

Sehabis tahlil bersama dalam rangka memperingati Haul Gus Dur ke II, Wali Paidi bersama warga berkumpul bareng, ngopi. Mereka saling berkelompok antara tiga sampai empat orang membicarakan dan mengenang Gus Dur, yang sesekali diselingi adu argumen tentang rahasia sang Guru Bangsa itu.

Ia bersama empat orang lainnya duduk bersama ditemani satu cangkir kopi besar ditaruh di tengah. Joinan kopi dan rokok bersama. Indah, rukun, sepi umpatan.

"Gus Dur jadi presiden kok cuma sebentar itu menurut sampeyan gimana kang?" Paijo, tetangga Wali Paidi mulai membuka pembicaraan dengan bertanya kepada Wali Paidi

"Sebelum kita membahas tentang itu semua, alangkah baiknya kita mengulas lagi sejarah sebelum Gus Dur jadi presiden".

"
Piye kang ceritane?" teman yang lain ikut penasaran atas apa yang akan keluar dari pendapat Wali Paidi.

Dulu ada seorang kiai di Blitar, namanya Kiai Rohimi. Beliau dikenal ahli istikharah. Banyak sekali kiai yang sowan kepadanya menanyakan apa makna isyarah yang diterima. Anehnya, Kiai Rohimi bisa menafsirkan isyarah-isyarah yang ditanyakan banyak orang kepadanya. Tidak pernah meleset. Dan hampir 100 persen mendekati kebenaran.

Padahal, kehidupan sehari-harinya hanya petani desa sederhana. Tiap pagi diantar cucu pergi ke sawah naik sepeda onthel. Para tamu yang hendak sowan biasanya harus menunggu Kiai Rohimi pulang, menunggu di depan ndalem beliau.

Di rumah yang berdinding kayu jati itulah, Kiai Rohimi menerima para tamu. Namun, ada sebuah kamar yang hanya khusus diperuntukkan kepada Gus Dur jikalau datang berkunjung ke situ dan menginap. Sebelum jadi presiden, Gus Dur memang banyak menerima isyarah dan menanyakan makna isyarah itu kepada Kiai Rohimi.

"Kiai rohimi ini tingkatannya lebih tinggi daripada Gus Dur ya kang, sampai Gus Dur sendiri minta tolong untuk menafsiri isyarah yang diterima," Paijo nyeletuk ke kepada Wali Paidi.

"Tidak mesti begitu. Kamu tahu Pak Ridwan tetangga kita yang jadi dosen di salah satu universitas terkenal itu?"

"Iya, saya tahu kang".

"Ketika ban mobilnya bocor, apa Pak Ridwan menambal ban mobilnya sendiri?"

"Tidak lah kang. Pak Ridwan jelas tidak bisa. Ban bocor akan ditambalkan ke tukang tambal ban".

"Pertanyaannya, apa tingkatan tukang tambal ban itu lebih tinggi daripada tingkatan Pak Ridwan yang dosen itu?"

"Ya tentu tidak kang".

"Begitulah apa yang terjadi di antara Gus Dur dan Kiai Rohimi. Tidak bisa diukur siapa lebih tinggi tingkatannya di antara mereka berdua," terang Wali Paidi. Rokok Dji Sam Soe nya disedot, nyeruput kopi, lalu melanjutkan cerita lagi.

"Sampeyan akan jadi orang nomor satu di Indonesia, tapi hanya sebentar," kata Wali Paidi menirukan ucapa Kiai Rohimi kepada Gus Dur kala itu.

"Berapa lama kiai?"

"Tidak sampai tiga tahun".

"Tugas yang sangat berat," ucap Gus Dur kala itu tanpa mempedulikan lama jabatannya.

"Iya ini memang tugas yang sangat berat Gus, dan sampeyan akan diturunkan oleh rakyat sampeyan sendiri," kata Kiai Rohimi.

"Kalau memang tugas, biar pun sebentar tidak apa-apa, yang penting bermanfaat," ucap Gus Dur.

***

Gus Dur menerima dengan lapang dada isyarah yang ditafsirkan Kiai Rohimi. Gus Dur tidak peduli jika dalam kepimpinanya kelak, akan direcoki dan akhirnya diturunkan secara tidak terhormat. Gus Dur memiliki prinsip, biarlah orang memusuhinya asal Allah menyayanginya. Biarlah orang menghinanya asal Allah ridla.

Beberapa bulan kemudian ganti para kiai sepuh yang mendapatkan isyarah-isyarah dari Allah mengenai Gus Dur. Para kiai tidak mau gegabah dengan menafsiri sendiri isyarah yang diterima oleh mereka. Para kiai sepuh itu sowan ke Kiai Rohimi menanyakan apa makna isyarah yang mereka terima.

Setelah mendapatkan makna isyarah Kiai Rohimi, para kiai sepuh menyampaikannya kepada Gus Dur. Sikap Gus Dur sangat ta’dzim ketika menerima mereka dan bahkan mengucapkan terimakasih karena mau memperhatikan dirinya selama ini, walau sebetulnya Gus Dur sendiri sudah tahu kalau dirinya akan jadi presiden. Gus Dur juga sudah tahu kalau masa kepemimpinannya cuma sebentar, jauh sebelum para kiai ini mengetahuinya.

Di luar sana, pertemuan antara para kiai dan Gus Dur tersebut tercium wartawan. Ramailah berita pertemuan tersebut. Oleh pewarta media, para kiai sepuh ini akhirnya dijuluki sebagai poros langit, disesuaikan dengan kelompok yang mengusung Gus Dur menjadi presiden, yakni poros tengah. Kebetulan juga, pemimpin kelompok kiai sepuh ini adalah KH Abdullah Faqih langitan Tuban. Jadi pas jika sebutan mereka itu "poros langit", alias poros Langitan.

Dan kita semua tahu, Gus Dur secara mengejutkan benar-benar jadi presiden. Namun tentunya Gus Dur dan para kiai sepuh sama sekali tidak terkejut dengan hal itu sudah tahu sebelumnya

Awal pemerintahan Gus Dur berjalan baik. Hubungan Gus Dur dengan Bu Mega nampak mesra. Mereka bergantian mengadakan sarapan pagi bersama. Kadang di istana presiden, kadang pula di istana wakil presiden. Tapi lama kelamaan para koruptor dan penggila jabatan mulai kuatir dengan ketegasan Gus Dur dalam memimpin negara ini.

Mereka mulai tidak bebas melakukan korupsi dan menumpuk-numpuk kekayaan pribadi karena ketatnya pengawasan Gus Dur kala itu. Mereka akhirnya mulai mendanai mahasiswa melakukan ndemo kepada Presiden Gus Dur. Mengangkat isu-isu yang memojokkan. Para koruptor hanya menunggu momen tepat menjatuhkan Gus Dur.

Gus Dur memang terkenal dengan gaya ngomong yang blak-blakan, Gus Dur berprinsip "
padhakno pengucapmu podho karo karepe atimu" (Samakanlah ucapanmu dengan kehendak hatimu).

Saat Gus Dur diminta pendapat oleh wartawan tentang Bu Mega yang sering diam saja, Gus Dur dengan enteng menjawab, "dia itu bodoh". Jawaban Gus Dur itu didengar oleh Pramono Anung yang ketika itu, -kalau tidak salah,- masih menjabat sebagai sekjen PDIP. Oleh Pram, jawaban Gus Dur itu disampaikan kepada Ibu Mega. Ngambek deh Bu Mega waktu itu. Ia tidak mau menemui Gus Dur ketika sarapan pagi bersama di istana wakil presiden.

Dan inilah kesempatan yang ditunggu oleh para koruptor dan penggila jabatan. Moentum ini dianggap sebagai celah asyik yang bisa buat amunisi menurunkan Gus Dur dari kursi presiden.

Pada sat ini, para kiai sepuh dapat isyarah lagi kalau Gus Dur akan dilengserkan dari kursi presiden. Para kiai sepuh poros langit ini sowan lagi kepada Kiai Rohimi, meminta pendapat dan meminta solusi menanyakan langkah terbaik agar Gus Dur masih tetap menjadi presiden.

"Gus Dur akan bisa tetap jadi presiden kalau mau meminta maaf kepada Ibu Mega, walaupun Gus Dur tidak ada niat merendahkan ibu mega," ucap Kiai Rohimi kepada para kiai sepuh.

Biarpun Kiai Rohimi sudah tahu kalau jabatan Gus Dur cuma sebentar, tapi Kiai Rohimi tetap memberi peluang kepada para kiai. Ia berkeyakinan bahwa Allah jualah yang menjadi penentu akhir suatu kisah. Isyarah hanyalah perlambang.

Para kiai kembali menemui Gus Dur dan menyampaikan apa yang diperoleh dalam isyarahnya dan juga menyampaikan pesan Kiai Rohimi. Tapi Gus Dur tidak mau melakukannya, bukan berarti Gus Dur tidak mau minta maaf karena malu atau gengsi, tapi apa yang dialami Gus Dur kurang lebih persis seperti apa yang dialami oleh Sayyidina Ali.

Dalam peperangan, ketika Sayyidina Ali mau membunuh orang kafir yang sudah terjatuh di atas permukaan tanah, ia tiba-tiba mengurungkan niat ketika orang kafir itu meludahinya. Orang kafir itu heran melihat Sayyidina Ali yang tiba-tiba urung membunuhnya itu.

"Pertama. aku memang berniat membunuhmu karena Allah, tapi ketika kamu meludahiku, terbesit perasaan marah kepadamu, maka aku urungkan niat membunuhmu karena ada niat selain Allah di hatiku," begitu kata Sayyidina Ali kepada si kafir.

Gus Dur juga demikian. Ia tidak mau meminta maaf kalau niatnya hanya karena ingin mempertahankan jabatan. Gus Dur tidak gila jabatan, dan ia memang sudah tahu kalau masa kepemimpinannya cuma sebentar. Akhirnya, kita semua tahu bahwa Gus Dur berhasil diturunkan dari kursi kepresidenan karena kasus yang dibuat-buat oleh lawan politiknya, macam buloggate.

***

Paijo dan kawan-kawannya terdiam mendengar cerita Wali Paidi ini. Mereka merasa baru mendengar cerita Gus Dur dengan Kiai Rohimi. Sangat penasaran.

"Apakah Kang Paidi pernah bertemu dengan Kiai Rohimi".

"Tidak pernah," jawab Wali Paidi kepada Paijo, ia masih menyedot rokoknya.

"Lalu, sampeyan dapat cerita darimana".

Wali Paidi tidak menjawabnya, dia hanya tersenyum dan menyeruput selepek kopi, lalu ngeloyor pergi. Namanya juga Wali Paidi, kerajaan jin di gunung Arjuna saja tahu siapa saja presidennya. Apalagi cuma cerita soal Gus Dur yang juga sering ditemui di alam kewalian sana. 

[dutaislam.com/ab]



 Karena Sering Usul ke Gusti Allah, Wali Ini Terkenal "Cerewet" di Jagat Langit Malaikat


DutaIslam.Com –

Anak buah Gohell yang berjumlah lebih dari tujuh orang makin heran melihat pemimpin mereka terduduk dan menangis tersedu-sedu di hadapan Wali Paidi. Tanpa dikomando, mereka membuat pagar betis, melingkari Wali Paidi dan Gohell.

Hal itu dilakukan supaya orang-orang tidak tahu kalau pimpinan mereka menangis. Reputasi jawara dan preman akan hancur seketika jika Gohell yang dikenal bengis lalu tersiar kabar telah menangis di depan seorang pemuda yang juga berpenampilan gaul ala distro, Wali Paidi.

Di tengah menangis, pundak Gohell ditepuk Wali Paidi dan menariknya berdiri.

"Sudah mas, aku sama sampeyan ini masih saudara, jadi tidak usah sungkan".

Gohell berdiri dan mengusap air matanya, merangkul Wali Paidi, "makasih, mas".

Mereka berdua salaman, diikuti seluruh anak buah Gohell tanpa kecuali. Ada yang sampai mencium tangan Wali Paidi. "Keren orang ini, tanpa jurus apapun, si bos tunduk," gumamnya.

Suasana menjadi cair karena Wali Paidi tidak membalas mereka dengan pukulan-pukulan saktinya, seperti pernah dilakukan kepada kerajaan jin di Gunung Arjuna. (Baca: 
Hanya Karena Punya Rokok Tapi Tak Ada Korek, Kerajaan Jin Diobrak-Abrik Wali Sakti Ini).

Mereka justru dihibur Wali Paidi dengan lemparan cerita lucu. Tangis berubah jadi canda tawa di antara mereka. Wali Paidi makin bisa diterima.

Bersama Wali Paidi, Gohell dan anak buahnya menuju ke warung di pinggir jalan. Namun anak buahnya hanya menunggu di luar warung, menjaga mereka berdua, dua saudara ketemu di jalanan berkat saling merasa dihargai dan diperhatikan ibunya, yang sedang berjuang melawan sakit.

"Mas, kalau bisa sampeyan berhenti malak orang, kasihan gurumu," ucap Wali Paidi.

"Saya akan berusaha mencari kerja yang benar, mas. Doakan 
mawon nggeh," Gohell tiba-tiba bicara sopan, tidak seperti biasanya.

"Jangan sampai perguruan sampeyan Setia Hati (SH) itu menjadi singkatan Perguruan Sakit Hati. Gunakan kepandaian silatmu sebagai senam untuk kesehatan. Itu yang cocok untuk zaman sekarang. Beda dengan zaman ketika orang Islam dulu masih punya banyak musuh penjajah. Jangan belajar silat untuk mencari kesaktian atau untuk perisai diri. Perisai diri yang langsung dari Allah adalah shodaqoh. Belajarlah silat hanya untuk kesehatan, maka kamu tidak akan mencari musuh atau dicari musuh".

"Kalau belajar silat untuk mencari kesaktian atau kekuatan, jadinya ya seperti ini. Sesama saudara seperguruan tawur, saling tidak rela melihat perguruan lain unjuk kekuatan, seperti penyerbuan kemarin itu. Setia Hati diduga menyerang konvoi perguruan kera sakti," lanjut Wali Paidi.

"Iya mas, memang aku dulu belajar ilmu silat untuk mencari kesaktian dan kekuatan. Setelah lulus, aku bingung bagaimana menempatkan diri ini yang sudah merasa kuat. Akhirnya, aku mencari gara-gara agar punya musuh, namun keterusan sampai jadi seperti sekarang ini".

Obrolan lama di warung kopi itu akhirnya membuat Gohell membuka hati. Ia mengerti tentang apa arti hidup, mengerti bahwa manusia itu tinggal menjalankan peran dari Allah. Gohell tambah mengenali dirinya kelak berperan sebagai apa dan menjalankan sebaik-baiknya atas peran yang dipilih.

Wali Paidi menjelaskan bahwa di dunia ini ada yang berperan sebagai ulama, guru, pedagang, petani dll. Hanya ketaqwaan kepada Allah lah yang akan dinilai.

"Terus sampeyan sekarang mau ke mana," Gohell menyela.

"Mau ke terminal"

"Hehehe, maksudku tujuan sampeyan dari terminal".

"Mau sowan kepada salah satu guruku".

"Kalau begitu mari saya antar". Tawaran Gohell diiyakan Wali Paidi.

Sebelum beranjak, Gohell mendekati pemilik warung, menanyakan semua biaya ngopinya bersama Wali Paidi. Namun pemilik warung terdiam. Ia heran dengan sikap Gohell saat itu. Kalau makan di warung, Gohell dan anak buahnya memang biasa tidak pernah mau bayar.

"Sudah nggak usah bayar mas. Anggap saja ini sebagai selamatan buat mas. Selamatan kalau sampeyan telah terlahir kembali. Mudah-mudahan tobat sampeyan ini sebagai 
taubatan nashuha," ucap pemilik warung menyambut riang atas perubahan dadakan sang preman.

***

Dalam perjalanan ke terminal, Gohell sempat menanyakan banyak hal tentang orang-orang sholeh yang diketahui Wali Paidi. Cerita singkat tentang para wali dan juga ulama didapatkan Gohell.

Sampai ke terminal, Gohell memanggil salah satu anak buahnya dan berbisik ke telinganya, lalu diminta pergi.

"Jangan berangkat dulu mas, tunggu bus lain saja, sebentar lagi pasti datang".

Anak buah Gohell tadi kemudian datang sambil menyerahkan sesuatu kepada big bosnya itu. Wali Paidi dipepet Gohell.

"Ini mas tolong jangan ditolak," Gohell menyerahkan beberapa lembar uang kertas yang sudah kumal kepada Wali Paidi. Ada pecahan uang 2000-an dan 5000-an.

"Jangan kuatir mas, itu bukan uang haram, itu uang sumbangan dari teman-teman. Dan saya minta dengan sangat, jangan ditolak". Akhirnya Wali Paidi mau menerima uang tersebut. Kini dia punya sangu lagi, minimal untuk bekal di jalan.

Naik bus, banyak bangku kosong. Wali Paidi memilih duduk di kursi bagian tengah. Pedagang rokok naik ke atas bus. Wali Paidi memanggilnya, ingin membeli Dji Sam Soe kesukaannya.

"Ini pemberian dari Mas Gohell sebagai rasa terimakasih". Wali Paidi malah tidak jadi membayar rokoknya. Padahal sudah dirogohkan uang pemberian Gohell.

Wali Paidi menuai keberuntungan hari ini. Mulai penjual minuman, pedagang kacang hingga penjual bollpoint pun rebutan memberikan barang dagangan atau diskonan harga barang mereka kepadanya. Mereka memberi atas nama Gohell sebagai ucapan terimakasih. Hingga saat membayar karcis bus pun, Wali Paidi dibebaskan oleh kondektur atas nama Gohell juga.

"Gendeng Sholeh iki," Wali Paidi tersenyum merasakan cara Sholeh alias Gohell dalam menghormati orang lain. Semua jaringan jalanan digerakkan untuk ikut mengucapkan terimakasih. Wali Paidi serasa memiliki banyak keluarga selama 2 jam perjalanan di bus.

Sampai di sebuah kota yang dulunya wilayah kerajaan Majapahit, Wali Paidi turun membawa satu kresek besar berisi minuman dan makanan ringan pemberian dari pedagang-pedagang asongan di atas bus.

Baru melangkah turun dari bus, Wali Paidi langsung dihampiri orang gila berambut gimbal. Tas kresek Wali Paidi ditarik-tarik oleh orang yang tiba-tiba muncul itu.

"Di, Paidi, sini minuman dan makanannya. Ini punyaku," Wali Paidi membiarkan saja tas kreseknya direbut dan dibawa ngeloyor pergi begitu saja. Penasaran, dia terus mengikuti orang gila gimbal itu.

"Apa orang gila saudaraku yah, kok tahu namaku Paidi".

***

Terlihat di sudut terminal, orang gila itu tertawa cekikikan menikmati makanan dan minuman hasil rampasan dari Wali Paidi.

Melangkah lambat, Wali Paidi mendekati orang gila tersebut. Sekira jarak 10 meter, sambil makan dan minum, orang gila itu berkata.

"Tak usah heran Di, orang yang dekat dengan Tuhannya, apa sih yang tidak diketahui di muka bumi ini. Yang diketahui oleh Gusti Allah juga diketahui oleh para kekasih-Nya, apalagi namamu, yang sudah terkenal di langit sana. Namamu seringkali muncul karena keseringan cerewet dan usul ke Gusti Allah".

Minuman Sprite kaleng masih diminum si orang gila tersebut.

"Para malaikat sering berkata, Gusti, Wali Paidi usul begini, Gusti, Wali Paidi minta begini. Gara-gara sering usul itu, hampir semua malaikat mengenalmu. Karena seringnya kamu minta dan usul ke Gusti Allah, seharusnya kamu malu Di! Wali kok minta-minta terus seperti pengemis begitu. Ha ha ha...."

Wali Paidi terdiam seperti tengah ditelanjangi, Ia menghampiri orang gila tersebut dan mencium tangannya. Wali Paidi kaget karena ketika dipegang, tangan orang gila berambut gimbal itu seperti tidak bertulang, terasa halus, begitu lembut dan baunya sangat wangi.

Sementara itu, ketika Wali Paidi hendak menanyakan nama, orang gila itu buru-buru berkata:

"Kamu tak usah tahu namaku. Sudah sana, kamu pergi sowan ke kiaimu. Nanti kita bertemu di sana. Dan kalau kamu melihat kiaimu sedang ada tamu agung, kamu sebaiknya langsung pamit saja," saran sang gila itu hanya disambut anggukan oleh Wali Paidi.

"Kok dia tahu ke mana tujuanku". Makin bingung. Tapi dia hanya membatin saja. Menyimpan penasaran.

 

Setelah pamit salam, Wali Paidi pergi dari situ melanjutkan sowan ke kiainya pakai becak. Sesampainya di ndalem kiai, Wali Paidi langsung menuju ruang tamu. Ia disambut salah satu santri abdi dalem kiai yang memang bertugas melayani para tamu yang datang.

Belum lama duduk, ada dua laki-laki lain yang juga hendak sowan ke kiai. Mereka berdua duduk disamping Wali Paidi. Tak seperti biasanya, kali ini kiai tidak langsung menemui mereka bertiga. Wali Paidi dan kedua tamu lainnya menunggu lama. Sekitar satu jam kemudian, kiai baru keluar menemui di ruangan.

Wali Paidi dan kedua tamu langsung bersalaman dengan kiai, cium tangan penuh ta'dzim. Saat itulah Wali Paidi tampak sangat ta’dzim berhadapan dengan kiai melebihi ta'dzimnya di hari-hari biasa. Ia hanya bisa menunduk di hadapan kiai. Butiran air mata tiba-tiba mulai membasahi pipi.

Baru saja duduk, Wali Paidi malah mohon pamit dan bersalaman lagi ke kiai, minta doa restu. Kiai hanya tersenyum.

"Iya Di, 
rapopo, salam saja ke dulur-dulur semua," begitu dawuh kiai.

"Inggih kiai". Wali Paidi masih saja menunduk, tidak berani menatap wajah gurunya yang sangat meneduhkan itu.

Tentu kedua tamu yang bersamanya tadi heran melihat sikap Wali Paidi. Mereka sudah menunggu begitu lama di ruang tamu, namun begitu kiai keluar, Wali Paidi justru langsung mohon pamit. Penasaran, salah satu di antara mereka akhirnya menanyakan kepada kiai.

"Mas tadi itu menunggu panjenengan bersama kami begitu lama. Tapi setelah kiai datang, dia langsung mohon pamit, boleh tahu kenapa, kiai?"

"Hmm, gimana yah, kamu langsung saja ke orangnya dan tanyakan hal itu. Dia belum pergi jauh. Sekarang dia sedang duduk-duduk di pagar jembatan sebelah sana".

Setelah mohon ijin dan keluar sebentar, tamu itu nekad mencari Wali Paidi, mengejarnya. Dan benar apa yang dikatakan kiai, Wali Paidi masih duduk di pinggir jembatan yang dimaksud.

"
Assalamuailaikum, maaf mas, saya penasaran dengan sikap sampeyan tadi. Kok langsung mohon pamit ketika baru ketemu kiai". Ia hanya dijawab salam oleh Wali Paidi. Makin nampak berkaca-kaca matanya, setengah menangis.

"Gimana tidak langsung mohon pamit kang, 
wong di samping kanan kiai ada Baginda Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dan di samping kiri kiai ada Nabiyullah Khidir alaihis salam, apa yang mau saya omongkan kalau beliau berdua hadir di samping kanan dan kiri kiai. Saya tidak berani melihat nur cahaya dua Nabi Allah tersebut".

Tamunya setengah tidak percaya, tapi dia hanya melongo. "Kok mas ini tahu ada Rasulullah dan Nabi Khidzir ada di samping kiai," gumamnya. Ia buru-buru kembali ke ndalem kiai, tapi kedua orang yang ada di samping kiai sudah tidak ada lagi.

Wali Paidi terus menerawang, jangan-jangan orang gila yang merampas tas kresek berisi makanan dan minuman pemberian Gohell dari terminal tadi adalah Nabi Khidzir. Cirinya jelas, tangannya tidak bertulang. Jarinya lembut, tidak bisa digunakan untuk "
njempol" (tanda pujian Top) yang tidak pantas dipakai untuk memuji selain kepada Allah.

Ia semakin yakin orang gila tersebut adalah Nabi Khidzir karena tadi sempat bilang begini, "Nanti kita bertemu di sana. Dan kalau kamu melihat kiaimu sedang ada tamu agung, kamu sebaiknya langsung pamit saja".

Wali Paidi mengikuti saran orang gila itu. Tunduk dan malu telah menyadarkan Gohell, yang bisa mengakibatkan hatinya muncul kesombongan. Padahal hidayah seorang hamba hanya diberikan atas kehendak Allah. Dipaksa pakai penthungan pun, kalau hidayah belum turun, tak akan berhasil. Apalagi dengan demo yang sangat cerewet. 

[dutaislam.com/ab]

 Garam "Suwuk" Sakti dari Wali Paidi Untuk Begal-Bedugal

DutaIslam.Com –

 

Acara peresmian toko onderdil mas kiai mursyid selesai. Wali Paidi pamit pulang. Ia kehabisan uang karena sangunya sudah dikasihkan kepada tamu-tamu mas kiai mursyid yang bersarung dan berpeci itu. Sengaja dikasih ke mereka sebagai uang kaget dari Wali Paidi. Kaget atas acara yang begitu menghebohkan, tidak selaiknya para mursyid thariqah.

Sudah tahu uangnya habis, mas kiai mursyid malah menggoda Wali Paidi.

"Kang, duit sampeyan kan masih banyak. Jadi aku wes nggak usah nyangoni. Ini bawa garam saja dari saya".

"Hehehe, iya mas yai, terimakasih," ucap Wali Paidi, basa-basi.

Sejak masa mbah yai masih ada, hingga abah yai dan mas yai mursyid, garam adalah cinderamata khas pondok pesantren. Orang-orang menyebutnya sebagai garam "suwuk" karena bisa digunakan untuk apa saja. Terutama mengobati penyakit lahir dan batin.

Adik mas kiai mursyid menawarkan untuk mengantar Wali Paidi ke terminal, tapi ia tidak mau.

"Saya jalan kaki saja sambil jalan-jalan menikmati pemandangan," ucap Wali Paidi kepada adik mas kiai mursyid.

Dzikir selalu menyertai setiap langkah pulang Wali Paidi.

Ketika melintasi jalan di pinggir alun-alun, ada segerombolan pemuda yang menguntitnya. Wali Paidi tetap meneruskan langkah. Ia sudah mengira kalau sebentar lagi akan dicegat mereka dan dipalak, dimintai duit.

Karena dia tidak lagi punya uang sama sekali, hatinya sangat sedih. Dia akan malu sekali karena tidak bisa memberi kepada orang yang akan memintanya itu, meski dengan cara memaksa.

"Kasihan mereka kalau sampai tidak mendapatkan uang dariku," Wali Paidi mencari solusi agar tetap bisa menolong makhluk Allah.

Ia berusaha menghidar karena malu. Wali Paidi terpaksa menyeberang jalan, menghindari mereka. Tapi gerombolan pemuda ini justru terus mengikutinya. Salah satu dari mereka akhirnya mendekat, maju ke depan tubuhnya, mencegat Wali Paidi.

"Duit, serahkan duitmu. Ayo cepat!" Ternyata dia adalah pimpinan gerombolan pemudanya.

Dengan santai dan tebar senyum, Wali Paidi membuka kaca mata hitamnya, melihat satu persatu para pemuda itu. Di kaos pimpinan gerombolan ini, ada simbol hati menyinar bertuliskan  "MURNI 22 NAIN".

Melihat Wali Paidi yang begitu tenang, mereka malah keder. Tidak ada ketakutan sama sekali di wajahnya.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya, aku tidak punya uang sama sekali. Maaf aku membuat kalian kecewa, uangku sudah habis kukasihkan kepada orang lain pas acara tadi," ucap Wali Paidi.

Ketua gerombolan ini tergetar hatinya ketika melihat tatapan mata Wali Paidi yang teduh. Hati pemuda ini tiba-tiba jadi damai. Tanpa disadari, matanya mulai berkaca-kaca. Pemuda itu mulai teringat dosa-dosanya. Ia tidak tahu mengapa hatinya yang begitu keras tiba-tiba saja teringat kelam masa lalu, terekam lagi pesan-pesan gurunya dulu.

Kawanan gerombolan ini juga ikut termangu melihat pimpinan mereka diam tak bergerak sama sekali. Mereka heran. Mas Gohell (Nama aslinya sholeh, asal Tegal) ini kalau ada orang dimintai duit tapi tidak memberi biasanya langsung dipukulinya sampai kelenger. Tapi kali ini tidak.

"Saya tidak bisa memberi apa-apa. Ini ada garam kalau sampeyan mau, katanya ibu sampeyan sekarang sakit,"

Pemuda bernama Gohell itu jadi heran setengah mati. Kok ada pemuda berpenampilan ala distro (Wali Paidi) mengetahui kalau sekarang ibunya sakit.

Selama beberap hari, hatinya galau memikirkan penyakit ibunya yang tak kunjung sembuh. Perhatian Wali Paidi terhadap ibunya membuat hati Gohell terenyuh. Selama ini semua orang di kampung tidak ada yang peduli dengan Gohell dan keluarganya. Bahkan banyak yang mencibir.

Tanpa bisa ditahan, pemuda ini terduduk di hadapan Wali Paidi dan menangis tersedu-sedu. 

[dutaislam.com/ab]



 Saat Joget Bersama "Mulan Jameela", Wali Ini Justru Melihat Paha Berdzikir


DutaIslam.Com –

Wali Paidi menyusuri jalan, pergi tanpa arah dan tujuan. Dia hanya berjalan dan berjalan, lupa akan makan dan minum. Wali Paidi ingin menghindari orang-orang yang mulai tahu kedudukannya. Mulai banyak orang sekarang yang memanggilnya gus, kiai bahkan ada yang terang-terangan menggangilnya sang wali.

Kehidupan Wali Paidi sekarang tampak ramai. Ada saja orang yang memerlukan bantuannya, soal jodoh, penglaris atau hanya meminta barokah do'a. Dan yang paling berat adalah jika ada yang meminta diakui sebagai murid. Wali Paidi merasa terusik, dia ingin merasakan kehidupan yang dulu yang hanya dikenal sebagai penjual minyak wangi, atau guru pengajar alif ba' ta' di musholla kecilnya.

Dan sekarang banyak orang yang berlomba-lomba hendak membangun mushollanya. Padahal Wali Paidi sangat ingin menghindari itu semua. Dia jengah akan semua pujian yang dialamatkan pada dirinya, terutama sejak datangnya malaikat yang mengunjungi baru-baru ini.

Wali Paidi mulai memasuki hutan belantara. Dia berjalan terus dan berhenti ketika dia melihat di depannya ada sungai. Didekati olehnya bibir sungai, dilihat airnya begitu jernih. Dia menunduk dan mulai membasuh tangan dan mukanya, lalu Wali Paidi memperbarui wudlunya. Wali Paidi diberi kemampuan oleh Allah selalu dalam keadan suci (punya wudlu) atau bahasa ngaji 
sak paran-parannya: "da'imul wudlu".

Setelah wudlu, Wali Paidi baru sadar kalau jauh di seberang sana, ada orang itu nampak sedang memancing. Wali Paidi mendekati orang itu. Dia merasa orang itu bukan sembarangan. Melihat wajahnya saja, tiba-tiba hati Wali Paidi semakin tentram. Wali Paidi mau mengucapkan salam tapi kedahuluan orang tersebut.

"Assalamu'alaikum, Kang Paidi".

"Waalaikum salam, kalau boleh tahu siapakah Anda?" Wali Paidi memulai tanya.

"Untuk saat ini namaku Syukron Fahmi," jawabnya.

Wali Paidi terdiam. Dia hanya menunduk memikirkan jawaban orang tersebut. Dan tiba-tiba saja sikap Wali Paidi berubah dengan sendirinya tanpa disadari. Wali Paidi bersikap seakan mengahadapi gurunya.

"Kang paidi sampeyan tidak seharusnya menghindari semua itu. Pujian-pujian itu adalah ujian buatmu. Ujian yang berupa pujian itu lebih berat dari penghinaan. Allah mau meningkatkan derajat sampeyan," terangnya.

Tapi Wali Paidi justru semakin menunduk. Ternyata orang yang sedang memancing ini mengetahui kegalauan dirinya hingga harus berjalan tanpa arah.

"Kang Paidi, menghidari pujian-pujian itu sama saja sampeyan menafikan kekuatan Allah karena sampeyan merasa tidak mampu. Padahal Allah lah yang memberi kekuatan," lanjutnya.

Wali Paidi hanya bisa berdiam dan semakin menunduk. Air mata mulai meleleh. "Ingat, La Haula wala quwwata illa billah. Merasa mampu dan merasa tidak mampu itu tidak boleh. Itu bagian dari 
syirik khofi (samar) bagi orang setingkat sampeyan karena Allah yang memberi kekuatan, Allah meliputi segalanya".

Wali Paidi menangis sesenggukan. Dia yakin orang yang di depannya adalah Nabiyullah Khidir. Dia ingin bersalaman dengannya untuk memastikan. Setelah tangisnya mereda, wajahnya diangkat. Tapi orang yang mengaku bernama Syukron Fahmi itu sudah hilang dari hadapannya.

Setelah bertemu sosok Syukron Fahmi, Wali Paidi masih terdiam dalam duduknya, masih merenungi  ucapan sosok misterius yang menggugah jiwanya itu.

Wali Paidi berdiri membersihkan tempat duduknya dan mulai melaksanakan shalat. Setelah salam, Wali Paidi berdiri lagi dan melakukan shalat lagi, begitu terus sampai malam kira-kira sekitar jam 9 malam. Wali Paidi berhenti dan melanjutkan dengan dzikir dan wirid.

Dia duduk bersila, memusatkan pikirannya, membuang jauh-jauh pikiran tentang dunia, menggerakkan hatinya untuk tetap berdzikir sirr, dan entah berapa lama hal ini terjadi. Tak lama kemudian, Wali Paidi merasakan alam di sekitarnya begitu hampa, tidak ada suara. Semuanya jadi hitam gelap gulita. Wali Paidi seakan menjadi udara yang hampa dan bergerak mengitari alam yang hitam pekat ini.

Setelah berkeliling, tampak di depannya ada dua sosok manusia yang sedang duduk seperti duduknya orang tahiyyat shalat, dan berdiri di samping mereka sosok berjubah putih yang bercahaya. Lamat-lamat Wali Paidi mengenali salah satu sosok yang duduk di depannya tersebut.

"Tidak salah lagi, beliau adalah Imam Ghzzali Mujtahid Islam," batin Wali Paidi.

Sosok berbaju putih itu melangkah ke depan dan mengucapkan sesuatu kepada benda yang di depannya yang tidak terlihat, "Gusti, bagaimana menurut jenengan terhadap kedua kekasihmu ini, Nabi Musa dan Al-Ghazali," ucapnya.

Lalu ada suara yang mengatakan dari entah:

"Musa, dengan ijinku, ia bisa menghidupkan orang yang telah mati. Tapi aku lebih suka terhadap Al-Ghazali karena dengan ijinku pula, ia bisa menghidupkan hati hamba-hambaku yang telah mati. Dia banyak menghilangkan kebodohan dan membuka jalan buat hamba-hambaku untuk lebih mengenalku".

Ketiga sosok itu samar-samar menghilang dari pandangan Wali Paidi. Lamat-lamat terdengarlah adzan subuh, sedikit demi sedikit alam mulai terlihat kembali. Setelah shalat, Wali Paidi bangkit dan kembali pulang.

***


Hari ini Wali Paidi berpenampilan lain dari biasanya. Tampil gaul ala parlente. ia memakai sepatu UNKL347, bercelana jeans pensil Airplane System dan pakai kaos merk Spilis Infection. Semua pakaian itu ia tidak beli, melainkan pemberian dari adik mas kiai mursyid yang kebetulan buka toko pakaian, Distro Kang Santri namanya.

Dengan kaca mata BL hitam Invictus, Wali Paidi berangkat memenuhi undangan mas kiai mursyid dalam rangka tasyakuran dan pembukaan toko onderdil impor. Mas kiai mursyid ini kalau bisnis memang tidak mau setengah-setengah. Sekali terjun, langsung all out, menyelam lebih dalam. Serius tingkat dewa.

Pagi sekitar pukul 09:00 WIB, Wali Paidi sudah sampai lokasi toko mas kiai mursyid. Tampak terop kecil mewah sudah menghiasi depan toko. Di bawahnya berjajar rapi kursi-kursi tamu terbungkus kain putih. Di depan terop itu ada geladak kecil yang juga tertutup kain putih. Pada bagian atas, ada karpet merah. Piano elektone ada di sebelah kiri dan musik Barat Slowrock berkumandang mulai awal acara.

Uniknya, suasana super mewah ala Barat itu, masih saja ada tamu yang datang dan pede memakai kopyah dan sarung dengan merk mencolok: "NU". Padahal banyak tamu lainnya berpaikan ala exekutif muda.

Mas kiai mursyid ternyata memang mengundang seluruh pelaku bisnis yang ia kenal, daerah dan luar daerah. Sengaja ia menyeting acara pembukaan tokonya onderdilnya itu seperti acara pembukaan toko onderdil lain yang penuh hiburan dan glamor walau banyak orang tahu ia ini adalah seorang mursyid.

Wali Paidi tidak lansung duduk di tempat acara. Ia menuju dapur umum. Seperti biasa, mecari kopi lalu mojok mengeluarkan sebatang rokoknya, jedal jedul menunggu kedatangan mas kiai mursyid. Mastna wa tsulasa wa rruba’a, rokok habis disedot Wali Paidi saat "mbanser" mengawasi semua tamu mas kiai mursyid yang datang.

Wali Paidi tersenyum kecil ketika melihat kekikukan para tamu yang memakai kopyah dan sarung NU itu. Mereka tampak rikuh duduk di kelilingi para tamu yang berpenampilan sangat beda dari mereka. Necis, ngota (ala kota).

Dari arah belakang, datanglah seorang pemuda berpenampilan mantap seperti Wali Paidi saat itu. Ia mengahampiri dan duduk disamping Wali Paidi. Pemuda ini adalah adik mas kiai mursyid.

"Sudah lama kang," tanya pemuda ini setelah salaman.

"Gak, barusan saja datang"

"Sebenarnya mas kiai mursyid meminta bantuan kepada Kiai Ahmad untuk mendatangkan santri-santrinya ke sini membantu bagian akomodasi (angkat-angkat meja). Tapi terjadi kesalahpahaman. Yang dikirim malah para ustadz dan penggede-penggede thariqah. Dikiranya mas kiai mursyid sedang mengadakan acara kumpulan thariqah, jadinya ya seperti ini".

Wali Paidi cuma nyengir. Namun tak lama kemudian datang mas kiai mursyid yang berbercelana jeans, diiringi cewek-cewek cantik berpakaian minim. Duh, tampak seksi dan mulus-mulus betul. Mereka adalah para 
sales promotion girl yang sengaja didatangkan mas kia mursyid untuk membantu acara pembukaan toko barunya.

Para tamu bertepuk tangan menyambut kedatangan mas kiai mursyid, kecuali mereka yang berkopiah dan sarungan. Melihat cewek di samping mas mursyid, mereka melongo dan heran. Sungguh pemandangan di luar kendali imajinasi mereka yang sangat sufi.

Para penggede thariqah yang datang mulai timbul keraguan atas kemursyidan mas kiai ini. Sebagian besar dari mereka memang dulunya adalah murid abahnya. Tapi apa boleh buat, mereka hanya diam dan menyaksikan mas kiai mursyid, gus mursyid mereka.

Acara basi-basi sudah selesai. Hiburan dimulai. Musik mengalun indah. Para penggede thariqah terbelalak hampir tidak percaya kala mas kiai mursyid naik ke panggung mini itu dan mulai berjoget ria bersama 15 orang cewek cantik 
sales promotion girl.

Mereka semakin geleng-geleng melihat gus mursyid mereka berjoget lalu bersenda gurau dengan para gadis cantik dan seksi tersebut. Wali Paidi hanya tersenyum melihat tingkah dan gaya mas kiai mursyid.

Saat melihat salah satu di antara cewek cantik itu ada yang mirip Mulan Jemeela, Wali Paidi hanya membathin, "ada-ada aja mas kiai mursyid ini. tahu kalau saya suka artis itu".

Mas kiai mursyid turun panggung, menghampiri Wali Paidi. Ditariklah tangannya agar ikut dan jogetan di atas panggung bersama. Oleh mas kiai mursyid, Wali Paidi digandengkan ke cewek yang wajahnya mirip Mulan Jameela tadi. Jleb. Deg. "Rejeki gusti!"

Ketika Wali Paidi memegang tangan cewek itu, detak dzikir jantung Wali Paidi justru makin kencang. Dari tangan cewek manis ini, terdengar kalimat: "Ya, Latief, ya Latief, ya Latief…". Dari paha dan pant4tnya keluar juga kalimat "ya Jamal, ya Jamal…". Begitu pula keluar kalimat-kalimat 
asmaul husna dari seluruh anggota badan si cewek cantik mirip artis ini.

Wali Paidi seakan berjoget di taman surga, musik dan suasana berubah seperti di surga. Bunga-bunga indah bermunculan di sekitar taman harum dan wangi. Ia 
masyghul (sibuk dzikir), hingga terus berjoget, berputar putar tanpa terasa mengikuti alunan musik yang dimainkan.

"Wes kang, ayo balik ke dunia lagi. Jangan di surga terus. Ini acara jualan onderdil belum selesei," mas kiai mursyid tiba-tiba menyadarkan Wali Paidi yang sedang nikmat berdzikir. 

[dutaislam.com/ab]

 Sang Wali Beri Amalan Cepat "Cling" Naik Haji Tanpa Ijazah Doa Wirid


DutaIslam.Com –

Setelah beberapa hari bersama Wali Paidi, si murid thariqah tersebut menghadap kepada guru mursyidnya, melaporkan peristiwa yang dialaminya. 10 meter dari gerbang pondok, si murid sudah disambut kawannya yang juga mondok.

"Sudah ditunggu Mas Yai di depan mushalla".

"Lho, yai sudah menunggu tho"

"Iya, tadi kira-kira 1,5 jam lalu aku disuruh Mas Yai membuat dua kopi dan beliau berpesan, setelah membuat kopi tolong taruh di depan mushalla dan cepat-cepat kamu ke pintu gerbang karena katanya dulur saya akan datang. Smapeyan ternyata kang".

Mereka berdua memasuki pondok. Pintu gerbangnya sangat kecil, berukuran 1 x 2 meter persegi. Dibuat hanya cuma satu daun pintu dari kayu yang kemudian dilapisi seng. Orang yang tidak pernah ke pesantren ini, pasti tidak tahu pintu gerbangnya. Itu satu-satunya jalan masuk.

Dulu, abahnya Mas Yai pernah berniat merenovasi pintu gerbang pesantren. Agar kelihatan lebih lebar dan bagus. Tapi, pada malamnya, ia bermimpi ketemu Mbah Yai, dan mengatakan

"Jangan kau dipugar pintu gerbangnya. Biarlah seperti itu saja. Biarkan orang mengira kalau di sini tidak ada pondok". Pesan mimpi itu membuat urung Abah Yai merenovasi pintu gerbang pondok,

Mas Yai sudah duduk sambil merokok di depan mushalla ditemani dua cangkir kopi hadapannya.

Setelah mencium tangan, si murid ini duduk di depan Mas Yai. Kang pondok yang mengantar, balik arah, tidak ikut nimbung obrolan karena dia hanya bertugas mengantar (inilah adab seorang murid).

"Yai, ketika shalat dengan Wali Paidi, saya mendengar bacaan Qur'annya tidak sempurna. Tapi lama kelamaan suara beliau ini kok berubah sangat merdu, apa maksud semua itu," tanya murid. Mas Yai kemudian menghisap rokoknya dalam-dalam.

"Kamu kan jelas pernah mendengar sabda Nabi yang artinya bau mulut orang puasa itu wangi bagaikan minyak kesturi di hadapan Allah. Ketika kamu mendengar suara Kang Paidi jadi merdu, sesungguhnya kuping yang kamu pakai untuk mendengar itu kupingnya Gusti Allah. Kalau kupingmu sendiri, maka terdengar begitu. Terdengar tidak sempurna menurut kupingmu, tapi di hadapan Allah, bacaan Kang Paidi ini begitu merdu. Begitu juga dengan bau mulut orang yang berpuasa. Akan tercium sangat busuk kalau cara menciumnya pakai hidung kita sendiri".

"Apakah Kang Paidi ini juga orang thariqah, kiai?"

"Dia murid abahku (Abah Yai). Sebelum masuk thariqah, perilaku Kang Paidi sudah sangat berthariqah. Kalau kamu melihat tingkah polahnya yang awur-awuran, itu hanya untuk menutupi kesejatian dirinya. Setahu saya, Kang Paidi orang yang tidak punya su’udzan kepada orang lain, baik anak kecil maupun maling, dia tetap husnudzan. Inilah salah satu kelebihan Kang Paidi".

"Tapi, kenapa bukan Yai sendiri yang mengatakan kepada saya kalau selama ini tempat yang saya kira Makkah itu sebenarnya adalah lokasi pembuangan sampah?"

"Hahahaha, itu memang tugas Kang Paidi. Dan lagi, tempat pembuangan sampah itu kan dekat dengan mushallanya. Kalau aku yang menunjukkan, kamu akan bingung berada di mana. Sedangkan TPA itu jauh dari pondokmu ini".


***

Sementara itu, di tempat lain, Wali Paidi sedang kedatangan seorang tamu yang ingin sekali berangkat haji.

"Kang, saya ingin sekali bisa berangkat haji. Tolong dikasih amalan yang bisa membuat saya bisa berangkat haji," pinta orang tersebut.

"Saya tidak bisa. Coba sampeyan minta kepada kiai yang lebih mengerti soal itu. Saya ini orang bodoh". jawab Ali Paidi

"Tidak kang, saya tidak keliru karena saya bermimpi kalau sampeyanlah yang bisa menunjukkan jalan tersebut".

"Baiklah, kalau sampeyan memaksa, begini saja, tiap habis shalat Shubuh sampeyan membaca Surat Yasin sebanyak 7 kali. Kalau ada apa-apa, sampeyan ke sini lagi".

Setelah sebulan orang tersebut benar-benar melaksanakan ijazah Wali Paidi, namun tidak terjadi apa. Dia kembali menghadap.

"Tidak ada apa-apa kang".

"Kalau begitu, bacaan Surat Yasinnya ditambah Surat Al-Waqi'ah sebanyak 7 kali. Dan, kalau nanti terjadi sesuatu di tengah membaca kedua surat tersebut, kesini lagi. Jangan langsung daftar haji tanpa beri kabar saya lo yah".

Setelah dibaca sebulan, tetap tidak mengeluarkan tanda apa-apa. Aneh, akhirnya orang ini kembali lagi menghadap Wali Paidi.

"Masih belum ada tanda apa-apa, kang".

Wali Paidi terdiam dan memejamkan matanya sebentar. Lalu ia menatap serius wajah orang yang ingin cepat naik haji ke Makkah itu.

"Kalau begitu, tambah lagi dengan surat tanah, pasti sebentar lagi sampeyan akan berangkat haji".

"Hahahahahaha"

Orang itu terpingkal-pingkal mendapatkan amalan selanjutnya.

"Anu kang, kata para kiai, haji itu tidak hanya ibadah ruhani saja, tapi juga ibadah jasadi, terutama ibadah dengan 
bondho atau duit," Wali Paidi menjawab serius tapi tetap terlihat lucu dan menggemaskan.

[dutaislam.com/ab]


 Sering Shalat di Atas Daun, Pemuda Ini Temui Kiai yang Biasa Jualan Minyak Wangi


DutaIslam.Com –

Habis dari Gunung Arjuna, Wali Paidi menjalankan aktifitas sebagaimana biasa di rumah. Tiap pagi Wali Paidi pergi ke pasar berjualan minyak wangi. Orang-orang pasar dan tetangga biasa memangilnya Kang Paidi tukang minyak.

Tiap jam 1 siang, Wali Paidi menutup tokonya dan pulang. Waktu Ashar setelah istirahat siang, Wali Paidi mengajari anak-anak kecil di langgar, belajar membaca Al-Qur'an sampai waktu Maghrib. Dulu, langgar Wali Paidi yang sederhana ramai anak-anak kecil yang belajar ngaji. Namun setelah ada sistem Iqro' dan Qira'ati, jadi sepi. Mereka pindah ke TPQ sebelah yang di kampung makin banyak.

Untuk mendapatkan 
syahadah (semacam ijazah) mengajar, Wali Paidi pernah mengikuti pelatihan ustdaz ala metode Iqro' maupun Qiro'ati yang memang diwajibkan. Tapi ia tidak lulus karena sering merokok dan bawa kopi ke dalam kelas.

Karena itulah, panduan ngaji Qur'an di langgar Wali Paidi tetap pakai metode lama, yaitu Baghdadi (
alif fathah A, alif kasroh I, alif dhommah U. A-I-U). Apa boleh buat, guru ngaji yang tidak punya syahadah tidak boleh mengajar pakai metode yang sudah tersusun praktis itu.

Lama-lama murid Wali Paidi habis karena tidak mengikuti sistem. Kini hanya tinggal 5 anak saja yang tetap mau mengaji di langgarnya. Satu-satunya alasan kelima orangtua murid Wali Paidi ini tetap mengikutkan ngaji di langgar adalah ekonomi. Mereka anak orang-orang miskin yang tidak mampu membeli seragam TPQ beserta buku panduannya.

Daripada tidak mengaji, para orangtua itu tetap mempercayakan dan menitipkan anak-anaknya kepada Wali Paidi. Di sana tidak ada tarikan uang, alias bebas dari biaya apapun. Kadang mereka malah sering dikasih uang jajan oleh Wali Paidi.

***

Menjelang Magrib, seorang pemuda seumuran 35 tahun datang mencari Wali Paidi. Diketahui, ia adalah murid thariqah. Datang disuruh gurunya mencari Wali Paidi.

"Nak, carilah kiai di daerah ini. Namanya Ali Firdaus. Tapi orang-orang biasa memanggil dengan sebutan Paidi (orang yang memberi faedah). Umurnya setara denganmu, dan hanya beliau satu-satunya laki-laki yang bernama Paidi di kampung itu. Kalau kamu ketemu dengannya, sampaikan salamku dan mintalah nasehat padanya," begitulah yang dikatakan guru kepada sang pemuda, waktu itu.

Pemuda itu diminta mencari Wali Paidi karena ia sering mengalami hal-hal aneh. Misalnya, ketika shalat, tiba-tiba ia sudah berada di Makkah dan shalat di hadapan Ka'bah sana. Banyak orang mengaku sering melihat sang pemuda sedang shalat di atas daun, padahal dia ada di rumah. Karena merasa aneh, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya itu kepada guru thariqahnya. Disuruhlah ia mencari Kiai Ali atau Kiai Paidi.

"Di sini tidak ada yang namanya Kiai Paidi. Yang ada Kang Paidi, penjual minyak wangi," jawab orang kampung dimana rumah Wali Paidi. Yang punya hape tahunya kalau nama Paidi ada di cerita wali berseri yang dimuat di Dutaislam.com. Hehe

"Baiklah, di mana rumah Kang Paidi penjual minyak wangi itu?" Pemuda ini yakin bahwa Kang Paidi itu yang dimaksud gurunya. Hanya satu orang di kampung ini yang disebut Paidi.

"Apakah benar ini rumah kang paidi penjualminyak wangi," tanya pemuda itu kepada seorang ibu di depan rumah Wali Paidi.

"Benar nak, dia ada dilanggar itu, sedang ngimami shalat Maghrib," wanita itu menunjukkan langgar sebelah rumah. Berbegas pemuda itu menuju ke langgar, shalat Maghrib sekalian sowan kepada Kiai Paidi.

Hanya 3 orang yang shalat di langgar. Saat maghriban, pemuda ini galau karena surat Al-Fatihah yang dibaca Wali Paidi, dianggap tidak sesuai ilmu Tajwid (padahal dia guru ngaji). Huruf "
ain", dibaca Wali Paidi jadi "ngg". Kalimat "robbil 'alamin" pun dibaca salah sehingga jadi "robbil ngalamin". Khas Jawa medog.

"Gimana mau khusyu' dan diterima shalatnya wong bacanya aja sudah keliru, apakah tidak salah guru menyuruh sowan kepadanya," pemuda itu menggerutu dalam hati.

Setelah salam dan wirid seperti biasa, imam shalat melanjutkan shalat sunnah. Setelah itu, Wali Paidi keluar dari mihrab dan duduk diteras, merokok jedal jedul. Kesempatan dimanfaatkan sang pemuda untuk langsung menghadap.

Setelah menyampaikan salam gurunya, pemuda ini menceritakan maksud kedatangannya, menceritakan kepada Wali Paidi ihwal perkara aneh yang dialaminya.

"Hmm, saya juga heran, kok kamu sampai bisa mengalami hal-hal yang menakjubkan itu yah, padahal shalat kamu kayak tadi saja masih sibuk ngurusi Tajwid daripada ingat kepada Allah," terang Wali Paidi. Makjleb, wajah pemuda itu pucat pasi. Dalam hati, pemuda ini hanya berkata:

"MasyaAllah, ternyata guruku tidak salah mengenai kiai muda ini". Ia kian menundukkan kepala di hadapan Wali Paidi, diam, tidak berani berkata banyak.

Suasana jadi hening, hanya terdengar suara hisapan rokok Wali Paidi, santai.

"Monggo kopine kang, dan ini rokoknya (Dji Sam Soe)". Akhirnya, mereka berdua merokok, 
nyingkrang sebentar. Mereka ngobrol santai, terlihat akrab hingga beberapa puluh menit.

"Nanti sehabis shalat Isya’ kamu dzikir saja di mushalla sini. Kalau nanti kamu tiba-tiba berada di tempat yang asing, kamu baca 
La Haula wala Quwwata Illa Billah 3 kali".

Tidak lama, suara adzan Isya terdengar. Tiga orang yang tadi ikut jamaah shalat Maghrib datang ke langgar lagi ikut Isya'an. Habis wudlu, Wali Paidi berdiri masuk ke musholla, mempersilakan pemuda thoriqot tersebut ngimami shalat, tapi ia menolak halus. Wali Paidi jadi imam seperti biasanya.

Tepat di belakang Wali Paidi, pemuda itu ikut jamaah Isya'. Menuju sahlat, ia sudah berniat tidak akan mengulangi kesalahannya (suudzon) seperti di Maghrib tadi. Surat al-Fatihah ia baca untuk mengajak hatinya berdzikir Allah...Allah...Allah..!

Pemuda ini mulai merasakan ketenangan di tengah shalatnya. Hiruk pikuk suara sekitar mushalla berangsur hilang. Suasana menjadi hening. Hanya suara Wali Paidi dan dzikir hatinya yang terdengar. Anehnya, suara Wali Paidi yang tadinya cemplang dan terdengar tidak bertajwid, kini kok menjadi sangat merdu dan fasih didengar oleh pemuda itu. Aneh, suara dan bacaan Wali Paidi mirip Imam Masjidil Haram. Ia baru sadar kalau suara Wali Paidi jelek sungguhan setelah salam.

"Sampeyan disini saja, dan mulailah berdzikir seperti yang sampeyan biasa lakukan, ingat pesan saya tadi," pemuda itu hanya menganggukkan kepala.

Lampu mushalla kemudian dimatikan setelah jamaah pulang. Pemuda itu sendirian. Ia duduk bersila, membaca fatihah, tawassul kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan guru-gurunya. Itu adalah wadhifah (kebiasaan) sang pemuda sebelum meneruskan membaca wirid yang selama ini selalu istiqamah dia baca.

Dan, wuuzzz, angin yang tadinya menghembus biasa berubah kencang. Benda-benda yang berada di dalam musholla mulai hilang satu persatu. Bahkan dirinya juga terasa ikut hilang. Saat merasakan tubuhnya hilang, tampak cahaya putih kecil dari arah mihrab.

Hanya cahaya itu yang tampak di hadapan sang pemuda. Semuanya hilang. Ia mulai mendengar suara orang, lalu-lanang membaca takbir dan tahmid. Cahaya kecil itu terlihat mulai membesar hingga terang penglihatan matanya.

Sang pemuda melihat bangunan segi empat tertutup kain hitam yang dikitari banyak orang. MasyaAllah, ternyata pemuda ini telah berada di Makkah, tepatnya di Masjidil Haram bagian dalam. Untuk meyakinkan diri, dia meletakkan tangan di atas marmer masjid. Ia merasakan semacam daya hangat mengalir ke nadi, tangannya.

"Ya Allah, ini marmer sungguhan. Ini Makkah betulan!".

Ratusan ribu orang berpakain ihram ia saksikan sedang berthawaf. Mereka bersahutan memuji Allah. Namun, buru pemuda ini teringat pesan Wali Paidi. Ia duduk dan mulai membaca,

"La Haula wala Quwwata Illa Billah"


Tiga kali kalimat itu ia baca. Bumi Makkah serasa bergoncang seperti gempa. Tubuhnya terguling. Dalam gelap, tubuhnya menabrak sesuatu yang ia tidak tahu. Angin kencang hilang, ia membuka mata. Deg, ternyata dia sekarang berada di atas tumpukkan sampah. Dikira Makkah, ternyata nyasar ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Hahaha. 

[dutaislam.com/ab]