Karena Sering Usul ke Gusti Allah, Wali Ini Terkenal "Cerewet" di Jagat Langit Malaikat
DutaIslam.Com –
Anak buah Gohell yang berjumlah lebih dari tujuh orang
makin heran melihat pemimpin mereka terduduk dan menangis tersedu-sedu di
hadapan Wali Paidi. Tanpa dikomando, mereka membuat pagar betis, melingkari
Wali Paidi dan Gohell.
Hal itu dilakukan supaya orang-orang tidak tahu kalau pimpinan mereka menangis.
Reputasi jawara dan preman akan hancur seketika jika Gohell yang dikenal bengis
lalu tersiar kabar telah menangis di depan seorang pemuda yang juga
berpenampilan gaul ala distro, Wali Paidi.
Di tengah menangis, pundak Gohell ditepuk Wali Paidi dan menariknya berdiri.
"Sudah mas, aku sama sampeyan ini masih saudara, jadi tidak usah
sungkan".
Gohell berdiri dan mengusap air matanya, merangkul Wali Paidi, "makasih,
mas".
Mereka berdua salaman, diikuti seluruh anak buah Gohell tanpa kecuali. Ada yang
sampai mencium tangan Wali Paidi. "Keren orang ini, tanpa jurus apapun, si
bos tunduk," gumamnya.
Suasana menjadi cair karena Wali Paidi tidak membalas mereka dengan
pukulan-pukulan saktinya, seperti pernah dilakukan kepada kerajaan jin di
Gunung Arjuna. (Baca: Hanya
Karena Punya Rokok Tapi Tak Ada Korek, Kerajaan Jin Diobrak-Abrik Wali Sakti
Ini).
Mereka justru dihibur Wali Paidi dengan lemparan cerita lucu. Tangis berubah
jadi canda tawa di antara mereka. Wali Paidi makin bisa diterima.
Bersama Wali Paidi, Gohell dan anak buahnya menuju ke warung di pinggir jalan.
Namun anak buahnya hanya menunggu di luar warung, menjaga mereka berdua, dua
saudara ketemu di jalanan berkat saling merasa dihargai dan diperhatikan
ibunya, yang sedang berjuang melawan sakit.
"Mas, kalau bisa sampeyan berhenti malak orang, kasihan gurumu," ucap
Wali Paidi.
"Saya akan berusaha mencari kerja yang benar, mas. Doakan mawon nggeh," Gohell
tiba-tiba bicara sopan, tidak seperti biasanya.
"Jangan sampai perguruan sampeyan Setia Hati (SH) itu menjadi singkatan
Perguruan Sakit Hati. Gunakan kepandaian silatmu sebagai senam untuk kesehatan.
Itu yang cocok untuk zaman sekarang. Beda dengan zaman ketika orang Islam dulu
masih punya banyak musuh penjajah. Jangan belajar silat untuk mencari kesaktian
atau untuk perisai diri. Perisai diri yang langsung dari Allah adalah shodaqoh.
Belajarlah silat hanya untuk kesehatan, maka kamu tidak akan mencari musuh atau
dicari musuh".
"Kalau belajar silat untuk mencari kesaktian atau kekuatan, jadinya ya
seperti ini. Sesama saudara seperguruan tawur, saling tidak rela melihat
perguruan lain unjuk kekuatan, seperti penyerbuan kemarin itu. Setia Hati
diduga menyerang konvoi perguruan kera sakti," lanjut Wali Paidi.
"Iya mas, memang aku dulu belajar ilmu silat untuk mencari kesaktian dan
kekuatan. Setelah lulus, aku bingung bagaimana menempatkan diri ini yang sudah
merasa kuat. Akhirnya, aku mencari gara-gara agar punya musuh, namun keterusan
sampai jadi seperti sekarang ini".
Obrolan lama di warung kopi itu akhirnya membuat Gohell membuka hati. Ia
mengerti tentang apa arti hidup, mengerti bahwa manusia itu tinggal menjalankan
peran dari Allah. Gohell tambah mengenali dirinya kelak berperan sebagai apa
dan menjalankan sebaik-baiknya atas peran yang dipilih.
Wali Paidi menjelaskan bahwa di dunia ini ada yang berperan sebagai ulama,
guru, pedagang, petani dll. Hanya ketaqwaan kepada Allah lah yang akan dinilai.
"Terus sampeyan sekarang mau ke mana," Gohell menyela.
"Mau ke terminal"
"Hehehe, maksudku tujuan sampeyan dari terminal".
"Mau sowan kepada salah satu guruku".
"Kalau begitu mari saya antar". Tawaran Gohell diiyakan Wali Paidi.
Sebelum beranjak, Gohell mendekati pemilik warung, menanyakan semua biaya
ngopinya bersama Wali Paidi. Namun pemilik warung terdiam. Ia heran dengan
sikap Gohell saat itu. Kalau makan di warung, Gohell dan anak buahnya memang
biasa tidak pernah mau bayar.
"Sudah nggak usah bayar mas. Anggap saja ini sebagai selamatan buat mas.
Selamatan kalau sampeyan telah terlahir kembali. Mudah-mudahan tobat sampeyan
ini sebagai taubatan nashuha,"
ucap pemilik warung menyambut riang atas perubahan dadakan sang preman.
***
Dalam perjalanan ke terminal, Gohell sempat menanyakan
banyak hal tentang orang-orang sholeh yang diketahui Wali Paidi. Cerita singkat
tentang para wali dan juga ulama didapatkan Gohell.
Sampai ke terminal, Gohell memanggil salah satu anak buahnya dan berbisik ke
telinganya, lalu diminta pergi.
"Jangan berangkat dulu mas, tunggu bus lain saja, sebentar lagi pasti
datang".
Anak buah Gohell tadi kemudian datang sambil menyerahkan sesuatu kepada big
bosnya itu. Wali Paidi dipepet Gohell.
"Ini mas tolong jangan ditolak," Gohell menyerahkan beberapa lembar
uang kertas yang sudah kumal kepada Wali Paidi. Ada pecahan uang 2000-an dan
5000-an.
"Jangan kuatir mas, itu bukan uang haram, itu uang sumbangan dari
teman-teman. Dan saya minta dengan sangat, jangan ditolak". Akhirnya Wali
Paidi mau menerima uang tersebut. Kini dia punya sangu lagi, minimal untuk
bekal di jalan.
Naik bus, banyak bangku kosong. Wali Paidi memilih duduk di kursi bagian
tengah. Pedagang rokok naik ke atas bus. Wali Paidi memanggilnya, ingin membeli
Dji Sam Soe kesukaannya.
"Ini pemberian dari Mas Gohell sebagai rasa terimakasih". Wali Paidi
malah tidak jadi membayar rokoknya. Padahal sudah dirogohkan uang pemberian
Gohell.
Wali Paidi menuai keberuntungan hari ini. Mulai penjual minuman, pedagang
kacang hingga penjual bollpoint pun rebutan memberikan barang dagangan atau
diskonan harga barang mereka kepadanya. Mereka memberi atas nama Gohell sebagai
ucapan terimakasih. Hingga saat membayar karcis bus pun, Wali Paidi dibebaskan
oleh kondektur atas nama Gohell juga.
"Gendeng Sholeh iki," Wali Paidi tersenyum merasakan cara Sholeh
alias Gohell dalam menghormati orang lain. Semua jaringan jalanan digerakkan
untuk ikut mengucapkan terimakasih. Wali Paidi serasa memiliki banyak keluarga
selama 2 jam perjalanan di bus.
Sampai di sebuah kota yang dulunya wilayah kerajaan Majapahit, Wali Paidi turun
membawa satu kresek besar berisi minuman dan makanan ringan pemberian dari
pedagang-pedagang asongan di atas bus.
Baru melangkah turun dari bus, Wali Paidi langsung dihampiri orang gila
berambut gimbal. Tas kresek Wali Paidi ditarik-tarik oleh orang yang tiba-tiba
muncul itu.
"Di, Paidi, sini minuman dan makanannya. Ini punyaku," Wali Paidi
membiarkan saja tas kreseknya direbut dan dibawa ngeloyor pergi begitu saja.
Penasaran, dia terus mengikuti orang gila gimbal itu.
"Apa orang gila saudaraku yah, kok tahu namaku Paidi".
***
Terlihat di sudut terminal, orang gila
itu tertawa cekikikan menikmati makanan dan minuman hasil rampasan dari Wali
Paidi.
Melangkah lambat, Wali Paidi mendekati orang gila tersebut. Sekira jarak 10
meter, sambil makan dan minum, orang gila itu berkata.
"Tak usah heran Di, orang yang dekat dengan Tuhannya, apa sih yang tidak
diketahui di muka bumi ini. Yang diketahui oleh Gusti Allah juga diketahui oleh
para kekasih-Nya, apalagi namamu, yang sudah terkenal di langit sana. Namamu
seringkali muncul karena keseringan cerewet dan usul ke Gusti Allah".
Minuman Sprite kaleng masih diminum si orang gila tersebut.
"Para malaikat sering berkata, Gusti, Wali Paidi usul begini, Gusti, Wali
Paidi minta begini. Gara-gara sering usul itu, hampir semua malaikat
mengenalmu. Karena seringnya kamu minta dan usul ke Gusti Allah, seharusnya
kamu malu Di! Wali kok minta-minta terus seperti pengemis begitu. Ha ha
ha...."
Wali Paidi terdiam seperti tengah ditelanjangi, Ia menghampiri orang gila
tersebut dan mencium tangannya. Wali Paidi kaget karena ketika dipegang, tangan
orang gila berambut gimbal itu seperti tidak bertulang, terasa halus, begitu
lembut dan baunya sangat wangi.
Sementara itu, ketika Wali Paidi hendak menanyakan nama, orang gila itu
buru-buru berkata:
"Kamu tak usah tahu namaku. Sudah sana, kamu pergi sowan ke kiaimu. Nanti
kita bertemu di sana. Dan kalau kamu melihat kiaimu sedang ada tamu agung, kamu
sebaiknya langsung pamit saja," saran sang gila itu hanya disambut
anggukan oleh Wali Paidi.
"Kok dia tahu ke mana tujuanku". Makin bingung. Tapi dia hanya
membatin saja. Menyimpan penasaran.
Setelah pamit salam, Wali Paidi pergi dari situ melanjutkan sowan ke kiainya pakai becak. Sesampainya di ndalem kiai, Wali Paidi langsung menuju ruang tamu. Ia disambut salah satu santri abdi dalem kiai yang memang bertugas melayani para tamu yang datang.
Belum lama duduk, ada dua laki-laki lain yang juga hendak sowan ke kiai. Mereka berdua duduk disamping Wali Paidi. Tak seperti biasanya, kali ini kiai tidak langsung menemui mereka bertiga. Wali Paidi dan kedua tamu lainnya menunggu lama. Sekitar satu jam kemudian, kiai baru keluar menemui di ruangan.
Wali Paidi dan kedua tamu langsung bersalaman dengan kiai, cium tangan penuh ta'dzim. Saat itulah Wali Paidi tampak sangat ta’dzim berhadapan dengan kiai melebihi ta'dzimnya di hari-hari biasa. Ia hanya bisa menunduk di hadapan kiai. Butiran air mata tiba-tiba mulai membasahi pipi.
Baru saja duduk, Wali Paidi malah mohon pamit dan bersalaman lagi ke kiai, minta doa restu. Kiai hanya tersenyum.
"Iya Di, rapopo, salam saja ke dulur-dulur semua," begitu dawuh kiai.
"Inggih kiai". Wali Paidi masih saja menunduk, tidak berani menatap wajah gurunya yang sangat meneduhkan itu.
Tentu kedua tamu yang bersamanya tadi heran melihat sikap Wali Paidi. Mereka sudah menunggu begitu lama di ruang tamu, namun begitu kiai keluar, Wali Paidi justru langsung mohon pamit. Penasaran, salah satu di antara mereka akhirnya menanyakan kepada kiai.
"Mas tadi itu menunggu panjenengan bersama kami begitu lama. Tapi setelah kiai datang, dia langsung mohon pamit, boleh tahu kenapa, kiai?"
"Hmm, gimana yah, kamu langsung saja ke orangnya dan tanyakan hal itu. Dia belum pergi jauh. Sekarang dia sedang duduk-duduk di pagar jembatan sebelah sana".
Setelah mohon ijin dan keluar sebentar, tamu itu nekad mencari Wali Paidi, mengejarnya. Dan benar apa yang dikatakan kiai, Wali Paidi masih duduk di pinggir jembatan yang dimaksud.
"Assalamuailaikum, maaf mas, saya penasaran dengan sikap sampeyan tadi. Kok langsung mohon pamit ketika baru ketemu kiai". Ia hanya dijawab salam oleh Wali Paidi. Makin nampak berkaca-kaca matanya, setengah menangis.
"Gimana tidak langsung mohon pamit kang, wong di samping kanan kiai ada Baginda Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dan di samping kiri kiai ada Nabiyullah Khidir alaihis salam, apa yang mau saya omongkan kalau beliau berdua hadir di samping kanan dan kiri kiai. Saya tidak berani melihat nur cahaya dua Nabi Allah tersebut".
Tamunya setengah tidak percaya, tapi dia hanya melongo. "Kok mas ini tahu ada Rasulullah dan Nabi Khidzir ada di samping kiai," gumamnya. Ia buru-buru kembali ke ndalem kiai, tapi kedua orang yang ada di samping kiai sudah tidak ada lagi.
Wali Paidi terus menerawang, jangan-jangan orang gila yang merampas tas kresek berisi makanan dan minuman pemberian Gohell dari terminal tadi adalah Nabi Khidzir. Cirinya jelas, tangannya tidak bertulang. Jarinya lembut, tidak bisa digunakan untuk "njempol" (tanda pujian Top) yang tidak pantas dipakai untuk memuji selain kepada Allah.
Ia semakin yakin orang gila tersebut adalah Nabi Khidzir karena tadi sempat bilang begini, "Nanti kita bertemu di sana. Dan kalau kamu melihat kiaimu sedang ada tamu agung, kamu sebaiknya langsung pamit saja".
Wali Paidi mengikuti saran orang gila itu. Tunduk dan malu telah menyadarkan Gohell, yang bisa mengakibatkan hatinya muncul kesombongan. Padahal hidayah seorang hamba hanya diberikan atas kehendak Allah. Dipaksa pakai penthungan pun, kalau hidayah belum turun, tak akan berhasil. Apalagi dengan demo yang sangat cerewet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar