Sering Shalat di Atas Daun, Pemuda Ini Temui Kiai yang Biasa Jualan Minyak Wangi
DutaIslam.Com –
Habis dari Gunung Arjuna, Wali Paidi menjalankan
aktifitas sebagaimana biasa di rumah. Tiap pagi Wali Paidi pergi ke pasar
berjualan minyak wangi. Orang-orang pasar dan tetangga biasa memangilnya Kang
Paidi tukang minyak.
Tiap jam 1 siang, Wali Paidi menutup tokonya dan pulang. Waktu Ashar setelah
istirahat siang, Wali Paidi mengajari anak-anak kecil di langgar, belajar
membaca Al-Qur'an sampai waktu Maghrib. Dulu, langgar Wali Paidi yang sederhana
ramai anak-anak kecil yang belajar ngaji. Namun setelah ada sistem Iqro' dan
Qira'ati, jadi sepi. Mereka pindah ke TPQ sebelah yang di kampung makin banyak.
Untuk mendapatkan syahadah (semacam
ijazah) mengajar, Wali Paidi pernah mengikuti pelatihan ustdaz ala metode Iqro'
maupun Qiro'ati yang memang diwajibkan. Tapi ia tidak lulus karena sering
merokok dan bawa kopi ke dalam kelas.
Karena itulah, panduan ngaji Qur'an di langgar Wali Paidi tetap pakai metode
lama, yaitu Baghdadi (alif fathah A, alif kasroh I, alif dhommah
U. A-I-U). Apa boleh buat, guru ngaji yang tidak punya syahadah tidak boleh
mengajar pakai metode yang sudah tersusun praktis itu.
Lama-lama murid Wali Paidi habis karena tidak mengikuti sistem. Kini hanya
tinggal 5 anak saja yang tetap mau mengaji di langgarnya. Satu-satunya alasan
kelima orangtua murid Wali Paidi ini tetap mengikutkan ngaji di langgar adalah
ekonomi. Mereka anak orang-orang miskin yang tidak mampu membeli seragam TPQ
beserta buku panduannya.
Daripada tidak mengaji, para orangtua itu tetap mempercayakan dan menitipkan
anak-anaknya kepada Wali Paidi. Di sana tidak ada tarikan uang, alias bebas
dari biaya apapun. Kadang mereka malah sering dikasih uang jajan oleh Wali
Paidi.
***
Menjelang Magrib, seorang pemuda
seumuran 35 tahun datang mencari Wali Paidi. Diketahui, ia adalah murid
thariqah. Datang disuruh gurunya mencari Wali Paidi.
"Nak, carilah kiai di daerah ini. Namanya Ali Firdaus. Tapi orang-orang
biasa memanggil dengan sebutan Paidi (orang yang memberi faedah). Umurnya
setara denganmu, dan hanya beliau satu-satunya laki-laki yang bernama Paidi di
kampung itu. Kalau kamu ketemu dengannya, sampaikan salamku dan mintalah
nasehat padanya," begitulah yang dikatakan guru kepada sang pemuda, waktu
itu.
Pemuda itu diminta mencari Wali Paidi karena ia sering mengalami hal-hal aneh.
Misalnya, ketika shalat, tiba-tiba ia sudah berada di Makkah dan shalat di
hadapan Ka'bah sana. Banyak orang mengaku sering melihat sang pemuda sedang
shalat di atas daun, padahal dia ada di rumah. Karena merasa aneh, ia
melaporkan semua kejadian yang dialaminya itu kepada guru thariqahnya.
Disuruhlah ia mencari Kiai Ali atau Kiai Paidi.
"Di sini tidak ada yang namanya Kiai Paidi. Yang ada Kang Paidi, penjual
minyak wangi," jawab orang kampung dimana rumah Wali Paidi. Yang punya
hape tahunya kalau nama Paidi ada di cerita wali berseri yang dimuat di
Dutaislam.com. Hehe
"Baiklah, di mana rumah Kang Paidi penjual minyak wangi itu?" Pemuda
ini yakin bahwa Kang Paidi itu yang dimaksud gurunya. Hanya satu orang di
kampung ini yang disebut Paidi.
"Apakah benar ini rumah kang paidi penjualminyak wangi," tanya pemuda
itu kepada seorang ibu di depan rumah Wali Paidi.
"Benar nak, dia ada dilanggar itu, sedang ngimami shalat Maghrib,"
wanita itu menunjukkan langgar sebelah rumah. Berbegas pemuda itu menuju ke
langgar, shalat Maghrib sekalian sowan kepada Kiai Paidi.
Hanya 3 orang yang shalat di langgar. Saat maghriban, pemuda ini galau karena
surat Al-Fatihah yang dibaca Wali Paidi, dianggap tidak sesuai ilmu Tajwid
(padahal dia guru ngaji). Huruf "ain",
dibaca Wali Paidi jadi "ngg".
Kalimat "robbil 'alamin"
pun dibaca salah sehingga jadi "robbil
ngalamin". Khas Jawa medog.
"Gimana mau khusyu' dan diterima shalatnya wong bacanya aja sudah keliru,
apakah tidak salah guru menyuruh sowan kepadanya," pemuda itu menggerutu
dalam hati.
Setelah salam dan wirid seperti biasa, imam shalat melanjutkan shalat sunnah.
Setelah itu, Wali Paidi keluar dari mihrab dan duduk diteras, merokok jedal
jedul. Kesempatan dimanfaatkan sang pemuda untuk langsung menghadap.
Setelah menyampaikan salam gurunya, pemuda ini menceritakan maksud
kedatangannya, menceritakan kepada Wali Paidi ihwal perkara aneh yang
dialaminya.
"Hmm, saya juga heran, kok kamu sampai bisa mengalami hal-hal yang
menakjubkan itu yah, padahal shalat kamu kayak tadi saja masih sibuk ngurusi
Tajwid daripada ingat kepada Allah," terang Wali Paidi. Makjleb, wajah
pemuda itu pucat pasi. Dalam hati, pemuda ini hanya berkata:
"MasyaAllah, ternyata guruku tidak salah mengenai kiai muda ini". Ia
kian menundukkan kepala di hadapan Wali Paidi, diam, tidak berani berkata
banyak.
Suasana jadi hening, hanya terdengar suara hisapan rokok Wali Paidi, santai.
"Monggo kopine kang, dan ini rokoknya (Dji Sam Soe)". Akhirnya,
mereka berdua merokok, nyingkrang sebentar.
Mereka ngobrol santai, terlihat akrab hingga beberapa puluh menit.
"Nanti sehabis shalat Isya’ kamu dzikir saja di mushalla sini. Kalau nanti
kamu tiba-tiba berada di tempat yang asing, kamu baca La Haula wala Quwwata Illa Billah 3
kali".
Tidak lama, suara adzan Isya terdengar. Tiga orang yang tadi ikut jamaah shalat
Maghrib datang ke langgar lagi ikut Isya'an. Habis wudlu, Wali Paidi berdiri
masuk ke musholla, mempersilakan pemuda thoriqot tersebut ngimami shalat, tapi
ia menolak halus. Wali Paidi jadi imam seperti biasanya.
Tepat di belakang Wali Paidi, pemuda itu ikut jamaah Isya'. Menuju sahlat, ia
sudah berniat tidak akan mengulangi kesalahannya (suudzon) seperti di Maghrib
tadi. Surat al-Fatihah ia baca untuk mengajak hatinya berdzikir
Allah...Allah...Allah..!
"Sampeyan disini saja, dan mulailah berdzikir seperti yang sampeyan biasa lakukan, ingat pesan saya tadi," pemuda itu hanya menganggukkan kepala.
Lampu mushalla kemudian dimatikan setelah jamaah pulang. Pemuda itu sendirian. Ia duduk bersila, membaca fatihah, tawassul kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan guru-gurunya. Itu adalah wadhifah (kebiasaan) sang pemuda sebelum meneruskan membaca wirid yang selama ini selalu istiqamah dia baca.
Dan, wuuzzz, angin yang tadinya menghembus biasa berubah kencang. Benda-benda yang berada di dalam musholla mulai hilang satu persatu. Bahkan dirinya juga terasa ikut hilang. Saat merasakan tubuhnya hilang, tampak cahaya putih kecil dari arah mihrab.
Hanya cahaya itu yang tampak di hadapan sang pemuda. Semuanya hilang. Ia mulai mendengar suara orang, lalu-lanang membaca takbir dan tahmid. Cahaya kecil itu terlihat mulai membesar hingga terang penglihatan matanya.
Sang pemuda melihat bangunan segi empat tertutup kain hitam yang dikitari banyak orang. MasyaAllah, ternyata pemuda ini telah berada di Makkah, tepatnya di Masjidil Haram bagian dalam. Untuk meyakinkan diri, dia meletakkan tangan di atas marmer masjid. Ia merasakan semacam daya hangat mengalir ke nadi, tangannya.
"Ya Allah, ini marmer sungguhan. Ini Makkah betulan!".
Ratusan ribu orang berpakain ihram ia saksikan sedang berthawaf. Mereka bersahutan memuji Allah. Namun, buru pemuda ini teringat pesan Wali Paidi. Ia duduk dan mulai membaca,
"La Haula wala Quwwata Illa Billah"
Tiga kali kalimat itu ia baca. Bumi Makkah serasa bergoncang seperti gempa. Tubuhnya terguling. Dalam gelap, tubuhnya menabrak sesuatu yang ia tidak tahu. Angin kencang hilang, ia membuka mata. Deg, ternyata dia sekarang berada di atas tumpukkan sampah. Dikira Makkah, ternyata nyasar ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar